Al-Qur’an vs Politik: Cacat Nalar Agen HTI (2/2)

Al-Qur'an

Khilafah.id – Ada pertanyaan menarik, dalam sesi tanya jawab, pada diskusi spesial Ramadhan, bulan diturunkannya Al-Qur’an tersebut. Yaitu: bagaimana pandangan Al-Qur’an terhadap partai politik dalam sistem demokrasi? Pertanyaan ini sudah final didiskusikan, sebenarnya. Untuk apa diungkit lagi, tidak lain adalah memanas-manasi keadaan. Agen HTI sering sekali melakukan itu.

Ismail Yusanto menjawab, bahwa partai politik dalam orientasinya hanya fokus terhadap cara mendapatkan kekuasaan, bukan demi kepentingan konstituen. Sehingga, check and balance yang dinarasikan, menurutnya, juga tidak berjalan. Kemungkaran tetap dibiarkan terjadi, justru yang bersuara adalah orang di luar parlemen. Bagaimana Al-Qur’an memandangnya? Ismail tak menjawab inti pertanyaan. Ia menjawab sesuatu yang sama sekali berbeda dengan yang ditanyakan.

Muslim, politik, dan Al-Qur’an menjadi topik kesinambungan yang diuraikan. Hujahnya tidak ada yang baru, dan setiap pertanyaan moderator merepresentasikan agenda penegakan khilafah di negeri ini. Cacat nalar agen HTI setali tiga uang dengan cita-cita utopisnya; menjadikan Indonesia sebagai negara yang didominasi kelompoknya. Ia menyebut diri dan kelompoknya sebagai yang ‘Islami’, ketimbang para pemangku politik saat ini.

Ismail Yusanto, sebagai representasi agen HTI, mengambil intrik dengan membagi politik ke dalam dua pengertian. Kesatu, politik sebagai cara memperoleh kekuasaan. Definisi ini berkonotasi negatif, dan diarahkan kepada pemerintah yang tengah berkuasa. Bagian sebelumnya sudah menyinggung hal ini. Kedua, memimpin urusan umat. Konotasinya positif, dan ini yang mereka perjuangkan.

Kalau ditelisik, bukankah memimpin umat bisa dilakukan bila tengah memangku otoritas kenegaraan? Bukankah itu artinya juga juga diperlukan perolehan kekuasaan terlebih dahulu? Sama saja, bukan?  Jika demikian adanya, maka yang para agen HTI tawarkan juga sebagian dari cara mendapatkan kekuasaan. Hanya saja, mereka memanipulasinya sebagai perintah Al-Qur’an.

Itulah yang disebut sebagai Al-Qur’anisasi politik, yakni menampakkan agenda yang kentara politis dengan mengatasnamakan Kitab Suci. Seolah, Al-Qur’an menghendaki makar. Seolah, mereka yang paling berpegang terhadapnya. Seolah, para aktivis khilafah itu pelopor umat untuk kembali ke dalam iklim politik yang dituntun agamanya sendiri, Islam.

Muslim, Politik, dan Al-Qur’anisasi Politik

Saat Nabi Muhammad Saw wafat, di kalangan Muhajirin dan Anshar terjadi perundingan, tentang siapa yang akan menjadi penggantinya sebagai pemimpin umat Islam. Setelah hampir terjadi perseteruan, Abu Bakar menjadi suksesi Nabi. Dari polemik itu, sementara sejarawan lantas beranggapan, persoalan pertama yang dihadapi umat Islam sepeninggal Nabi adalah politik.

Islam melakukan ekspansi juga bagian dari politik kekuasaan, di samping menyebarkan agama. Karenanya, antara Muslim dan politik tidak jarang mengalami hubungan fluktuatif. Beberapa abad ia menguasai politik dunia, beberapa abad sesudahnya didominasi politik Eropa. Para agen HTI bertindak sebagai penggerak umat, dala rangka kembali merebut kekuasaan tersebut.

Menarik sekali, ketika ismail Yusanto menghimbau keterlibatan seluruh umat Islam ke dalam iklim politik. Keterlibatan tersebut memiliki tujuan tertentu, yang tidak lain demi kesejahteraan masyarakat. Ismail Yusanto mengatakan, ada empat macam keterlibatan Muslim terhadap politik. Pertama, berpartisipasi dalam menjaga bagaimana masyarakat diperlakukan oleh pemerintah.

Dalam arti, ikut terlibat terhadap urusan masyarakat, mulai pendidikan, ekonomi, dan lainnya. Kedua, amar makruf nahi mungkar. Ia mengutip keterangan bahwa mati karena mengkritik kebijakan penguasa memiliki derajat yang sama dengan Sayyidina Hamzah. Ismail mengarahkan ini kepada pemerintah, karena orang di perlemen dianggapnya justru bersekongkol dalam kemungkaran.

Ketiga, lanjutan sebelumnya, melakukan koreksi terhadap penguasa. Misal, mengajukan revisi perundang-undangan, atau memberikan saran terhadap kebijakan yang dianggap kurang tepat. Keempat, ini yang paling penting menurut Ismail Yusanto, adalah mengubah tatanan negara, bila ternyata apa yang berlaku tidak sesuai tuntunan Al-Qur’an.

Al-Qur’anisasi politik menjadi semacam senjata, agar umat terpengaruh provokasi mereka. Yang sebenarnya murni politik, mereka anggap itu perintah Al-Qur’an. Padahal, baik hadis maupun Al-Qur’an tidak secara spesifik memerintah khilafah. Yang Kitab Suci ajarkan hanya bagaimana menjadi  pemimpin ideal, khilafah ala mereka murni politik. Tidak dari Al-Qur’an, kecuali karena mereka menganggapnya berasal darinya, agar umat Islam tertarik, demi kepentingan perebutan kekuasaan itu tadi.

Intrik Para Dedengkot

Membandingkan Al-Qur’an dengan politik adalah sesuatu yang cacat, sebagaimana diulas pada bagian sebelumnya. Jika tujuan akhirnya tidak ada lagi selain untuk merombak sistem yang ada, untuk apa membawa sakralitas Kitab Suci? Kebebalan para agen HTI sebanding dengan masif dan istiqamahnya mereka melakukan indoktrinasi khilafah.

Kajian-kajian sejenis itu tidak pernah memiliki argumentasi yang jelas, justru sarat dengan argumentasi manipulatif. Ayat suci ditafsirkan tidak sebagaimana seharusnya, begitupun dengan hadis Nabi dan sejarah. Yang berada di hadapan kita adalah perang ideologi. Kita mau membela demokrasi atau khilafah? Tidak, kita membela Indonesia.

Pemerintah hari ini, secara kebijakan, memang tidak sedikit menuai kritik. Tetapi kritik tersebut ditujukan kepada kebijakan itu sendiri, bukan dengan cita-cita mengganti sistem negaranya. Indonesia tidak lahir dari diskusi yang terburu-buru dan mimpi utopis, ia lahir dari konsensus para ulama dengan negarawan, yang mengutamakan kemaslahatan seluruh bangsa.

Apa akan disoal pula bahwa itu tidak sesuai ajaran Al-Qur’an? Agen HTI sudah mengalami cacat nalar jika berpikiran demikian. Bahwa demokrasi itu berasal dari Barat, iya benar demikian. Lagi pula jika khilafah ala HTI tegak, Ismail Yusanto yang akan menjadi pemimpinnya? Dibilang ulama bukan, nasionalis juga bukan. Kenapa suka sekali mengusik ketenangan di negeri ini?

Perlu dipertegas sekali lagi, bahwa Al-Qur’an sama sekali tidak memerintahkan berdirinya khilafah sebagaimana yang agen HTI gaungkan. Berpolitik diatur oleh Al-Qur’an, tetapi tidak dengan intrik politik yang manipulatif secara argumentasi bahkan berpotensi mengundang kegaduhan. Seburuk-buruknya sistem demokrasi, masih lebih baik dari sistem khilafah ala HTI.

Ismail Yusanto dkk melalui kanal YouTube dan semua seri diskusinya hanya memiliki satu tujuan: negeri ini pecah dan khilafah ditegakkan. Ia kembali kepada apa yang disampaikannya sendiri, “melakukan segala cara untuk memperoleh kekuasaan”. Sekalipun nalar argumentatifnya cacat, bukan urusan. Yang terpenting bisa menggaet partisipan.

Jika berpolitik akhir muaranya juga tentang kekuasaan, buat agen HTI memanipulasinya sebagai doktrin Al-Qur’an? Toh, mereka juga ingin berkuasa. Sama saja.

Ahmad Khoiri, Mahasiswa Magister Pengkajian Islam, Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Redaksi Khilafah.ID

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Khilafah Hanya 30 Tahun, Benarkah?

Kam Des 9 , 2021
Khilafah.id – Beberapa waktu terakhir ini, pembahasan seputar khilafah kembali menarik perhatian banyak kalangan, terlebih setelah pemutaran film “Jejak Khilafah di Nusantara”, meskipun kemudian film tersebut diblokir oleh pemerintah. Sadar atau tidak, para penggagas khilafah versi HTI di negeri ini tidak pernah berhenti melakukan upaya indoktrinasi untuk menegakkan kembali khilafah […]
Khilafah