Khilafah.id – Di tengah intoleransi ASN mengamuk ke tetangga gara-gara ibadah di rumahnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengaku bersyukur bahwa nilai-nilai toleransi di Indonesia masih terawat dengan baik. Menurutnya, Indonesia masih dalam kategori baik-baik saja dan dalam keadaan normal.
“Saat kita merasakan zaman semodern ini masih ada perang, kadang-kadang kalau kita berpikir secara normal, kok masih ada dalam peradaban baru dalam peradaban modern masih ada perang,” kata Presiden Jokowi dalam sambutannya saat silaturahmi dengan Asosiasi Forum Kerukunan Umat Beragama se-Indonesia (AFKUBI) di Istana Negara IKN, Kalimantan Timur, Rabu (25/9), disaksikan melalui tayangan langsung YouTube Sekretariat Presiden dari Jakarta.
Wajah Buruk Indonesia: Intoleransi Masih Tinggi
Presiden Jokowi mencontohkan konflik yang terjadi antara Rusia-Ukraina dan juga Israel-Palestina. Bukan konflik-konflik intoleransi yang terjadi di Indonesia sendiri. Maka jangkauan penglihatan Jokowi sangat lebar. Padahal, penyakit intoleransi Indonesia hampir menyeluruh dan beragam. Ibarat sekam, intoleransi bisa meresap di dalam, dan sesekali terkadang bisa membakar secara keseluruhan.
Memang sampai hari ini Indonesia tidak terjadi konflik besar seperti perang. Namun, melihat eskalasi konflik intoleransi yang tiap hari terjadi di masyarakat, Indonesia sangat mengkhawatirkan. Terutama yang terjadi di masyarakat Bekasi, Kota Depok, Kota Cilegon, Banten, Aceh, Kota Padang, Kota Lhokseumawe, Kota Mataram, Kota Pekanbaru, Kota Palembang, Kota Bandar Lampung, dan Kota Sabang.
Intoleransi Rupa-Rupa
Intoleransi bukan sekadar perilaku individu dan kelompok. Tetapi intoleransi juga berupa peraturan dan undang-undang yang diberlakukan. Misalnya di Kota Cilegon, hingga sampai saat ini tidak ada satu pun gereja, padahal Cilegon kan bagian dari Indonesia.
Laporan Indeks Kota Toleran (IKT) 2023 menunjukkan toleransi di Indonesia stagnan dari tahun sebelumnya. Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan, mengatakan hal itu dipicu oleh masih adanya regulasi atau pasal yang mengkriminalisasi kebebasan beragama dan berkeyakinan. Meski begitu, ditemukan ada 63 produk hukum baru berupa 11 peraturan daerah; 16 peraturan walikota; dan 34 peraturan serta keputusan turunan teknis yang progresif menopang ekosistem toleransi di kota-kota.
Meski konflik berskala besar tidak terjadi, namun konflik-konflik kecil tapi potensial besar harus segera diwaspadai. AFKUBI wajib kiranya terus diminta untuk menjaga kerukunan dan toleransi antar-umat beragama di Tanah Air. Selama ini, Asosiasi FKUB berhasil di satu tempat, tetapi mereka juga gagal di tempat lain. Karena itulah penting untuk terus memupuk kesadaran akan damai, sikap rukun dan harmonis, sehingga persatuan dan kesatuan kita sebagai bangsa terawat baik dan terjaga.
Kita sebagai bangsa tidak boleh alergi dan harus mengakui bahwa intoleransi masih tinggi di Indonesia. Hasil riset Setara Institute tentang Indeks Kota Toleran (IKT) menunjukkan kondisi toleransi di Indonesia mengalami stagnasi sejak 2015. Setara Institute menunjukkan rata-rata Indeks Kota Toleran (IKT) nasional pada 2022 mencapai nilai 5,03, turun tipis dari 2021 yang mendapat nilai 5,24. Hal ini menunjukkan kondisi toleransi di Indonesia masih stagnan dan belum mencapai nilai yang signifikan. Setara menggunakan rentang nilai 1-7, artinya satu merupakan skor situasi paling buruk dan tujuh situasi paling baik.
Adapun tiga kota yang mendapat nilai paling tinggi, yaitu Singkawang (6,58), Salatiga (6,42), dan Bekasi (6,08). Sementara tiga kota yang berada di urutan terbawah dari 94 kota yang diteliti, yaitu Cilegon (3,22), Depok (3,61), dan Padang (4,06).
Tiga Solusi Meminimalisir Intoleransi
Melihat data di atas, kita bisa menyaksikan bahwa masih ada banyak pekerjaan rumah bagi Indonesia. Karena itu, apa yang harus kita lakukan? Salah satunya adalah memberikan intervensi terhadap kota-kota yang mendapat peringkat terendah indeks tolerannya. Misalnya dengan memberlakukan peraturan atau melakukan perbaikan peraturan perundang-undangan baik di tingkat pusat, daerah atau kota, terutama dalam membangun jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta perlindungan terhadap kelompok minoritas dan rentan. Semisal regulasi yang ambigu yang dapat memantik intoleransi di daerah.
Kedua, kita bisa membiasakan dialog antaragama dengan fokus toleransi. Selama ini, dialog antaragama selalu dominan sangat proyek dan proposalistik. Bukan sesuatu yang bersifat original dan organik. Dialog ini memang tidak gampang, karena itu tidak boleh dianggap sepele. Sebab, jika diabaikan terus-menerus dalam jangka panjang akan menjadi pintu masuk menuju ancaman keamanan nasional seperti terorisme.
Ketiga, kita sama-sama harus mendorong terjadinya kontestasi dan inovasi tentang kearifan lokal dan budaya yang menjunjung toleransi dan kerukunan. Indonesia memiliki ragam kearifan lokal yang masih baik dan lestari. Karena itu, ini wajib kiranya dijaga dan menjadi etalase serta modal untuk meningkatkan kerukunan di dalam kehidupan masyarakat.
Lebih dari itu, pemerintah juga saling bahu-membahu untuk memberikan bantuan atau sistem reward kepada mereka (seseorang/kelompok/kota) yang menjaga kerukanan dan toleransinya. Ini dilakukan sebagai langkah konkret untuk terus mendukung berbagai inisiatif yang dapat mendorong kerukunan di Indonesia. Bagi saya, toleransi harus dijadikan sebagai bahasa dan kata kunci dalam setiap percakapan, baik di level pemerintahan hingga grass root, agar masyarakat bisa sama-sama membangun ekosistem toleransi.