Buya Syafii: Bacalah Buku “Al-Haqiqah Al-Gaibah” Agar Melihat Biadabnya Politik Khilafah Masa Lalu

Buya Syafii

Khilafah.id – Sebuah pesan Whatsapp dari Buya Syafii Maarif masuk ke gawai saya pada pukul 13.11 di tanggal 20 Oktober 2021. Isinya, “Mohon dibaca ulang karya Farag Fouda: Al-Haqiqah Al-Gaibah atau terjemahan Novriantoni: Kebenaran yang Hilang. Amat penting untuk melihat betapa biadab dan brutalnya penguasa Arab Muslim masa silam yang bertindak atas nama Tuhan dan masih berlangsung sampai hari ini. Terima kasih. Maarif.” Tak berapa lama, Buya mengirim versi PDF buku tersebut dalam bahasa Arab.

Berulang kali, Buya Syafii mengingatkan pentingnya membaca ulang krisis peradaban Arab yang terjadi berlarut. Pembacaannya membutuhkan perangkat sejarah, ilmu sosial kritis, dan analisis relasi kuasa. Buya memperkenalkan istilah “misguided arabism” yang diartikannya sebagai arabisme kesasar jalan. Banyak umat Islam yang menerima begitu saja warisan kelam, tanpa sikap kritis dalam melihat Arab dan produk kebudayaannya. Mereka menganggap semua yang datang dari Arab dan berbahasa Arab adalah hal suci dan bagian dari agama.

Guna menguji klaim sebagian kalangan bahwa periode salaf atau era khalifah al-rasyidin sebagai zaman keemasan, buku Farag Fouda mengungkap jejak sejarah yang menunjukkan bahwa era itu: biasa saja. Tiga dari empat khalifah yang dijamin masuk surga itu wafat karena dibunuh sebab pertikaian politik internal. Farag Fouda menunjukkan praktek penguasaan harta yang timpang hingga kepemilikan budak perempuan. Tentu, kita menaruh hormat pada kaum Muhajirin dan Anshar sebagai al-sabiquna al-awwalun, tetapi manusia bukan malaikat.

Ada juga kisah jasad Usman bin Affan baru dapat dimakamkan di hari ketiga, dan banyak yang tidak mau mensalatkannya. Bahkan, tidak diperkenankan dikubur di pemakaman Muslim, sehingga harus dimakamkan di Hisy Kaukab yang merupakan kuburan Yahudi. Baru di masa Bani Umayyah, areal itu dimasukkan ke dalam kompleks Baqi’. Penerusnya, Ali bin Abi Thalib tak kuasa menghukum para pembunuh Usman yang bebas berkeliaran. Kisah ini antara lain diungkap Al-Thabari dalam Tarikh al-Umam wa al-Muluk.

Sebagai sejarawan yang setia pada data, Buya ingin umat mengambil pelajaran dari tragedi sepanjang sejarah Islam sejak wafatnya Nabi Muhammad. Di saat jasad Nabi belum dikubur, terjadi pertemuan di Tsaqifah Bani Saidah di Madinah. Kaum Anshar berkumpul untuk mengangkat Saad bin Ubadah sebagai pengganti Nabi. Sementara itu, kelompok Muhajirin yang diwakili Abu Bakar, Umar, dan Abu Ubaidah al-Jarrah datang untuk mendaulat Abu Bakar. Sampai ajalnya, Saad bin Ubadah tidak mau membaiat Abu Bakar.

Masa kepemimpinan Abu Bakar berlangsung selama 2 tahun 3 bulan, tetapi masa yang singkat itu banyak dihabiskan untuk berbagai peperangan dengan mereka yang dinilai murtad, mereka yang tidak membayar zakat, dan nabi palsu. Mereka dinilai tidak punya kesetiaan untuk membayar zakat kepada Khalifah Abu Bakar sebagaimana kesetiaan mereka dulu ketika Rasulullah masih hidup. Abu Bakar bersikeras untuk memerangi mereka, meskipun Umar berusaha menahan keputusan itu.

Masa kekhalifahan selanjutnya juga serupa, meski di masa Umar sempat terjadi kestabilan. Di masa Ali, peperangan demi peperangan antara pendukungnya dengan penentang kekuasannya terjadi sepanjang waktu. Seperti dengan pasukan Aisyah, Thalhah, dan al-Zubair dalam Perang Jamal. Berhadapan juga dengan Muawiyah dalam Perang Shiffin, serta puluhan perang lainnya melawan kaum Khawarij yang lahir sebagai residu perang sebelumnya. Energi untuk berperang dengan sesama internal lebih dominan daripada energi untuk membangun tatanan negara.

“Perang elite Arab Muslim itu telah menciptakan kotak-kotak polarisasi umat Islam sampai sekarang,” tutur Buya Syafii dalam rapat redaksi Suara Muhammadiyah (18/1/2020). Menurutnya, konflik sektarianisme Arab setelah wafatnya Nabi yang terus diwariskan ke seluruh dunia Muslim itu sama sekali tidak terkait dengan ajaran wahyu. Itu bukan perihal agama, tetapi urusan perebutan kekuasaan yang kumuh. “Semua kerajaan kumuh. Dan kadang pakai dalil,” kata Buya Syafii dalam rapat redaksi Suara Muhammadiyah (26/10/2021).

Buya menyatakan, “Tentu orang Arab fasih berbahasa Arab dan mereka bisa menghafal Al-Quran dengan mudah. Tapi apakah mereka betul-betul memahami makna sebenarnya dari isi Al-Quran?” Buya menyebut bahwa nilai Al-Qur’an semestinya dijunjung tinggi dalam perbuatan yang membumi. Bukan sebaliknya, “Kelakuan sebagian kecil umat memilih mengkhianati ajaran Al-Quran itu demi syahwat kekuasaannya, Tuhan telah dibajaknya.”

Tidak hanya masa khalifah al-rasyidin, kata Buya dan Fouda, kekuasaan setelahnya yang diwadahi Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah juga berlumur darah dan kumuh. Rinciannya antara lain diungkap Al-Suyuthi dalam Tarikh Al-Khulafa, Ibnu al-Atsir dalam Al-Kamil, Al-Thabari dalam Tarikh Al-Thabari. Meskipun dianggap sebagai era kejayaan dalam bidang ilmu pengetahuan, pertikaian memperebutkan takhta dan harta tidak bisa dihindari. Di masa Umayyah, misalnya, ada Yazid bin Muawiyah yang terkenal karena membunuh Husein bin Ali bin Abi Thalib dan penyerangannya yang brutal ke Kota Madinah sebab mencabut baiat.

Agamawan dan penguasa kerap saling memanfaatkan kuasa dan otoritas untuk kepentingan pribadi. Di masa Abbasiyah, tulis Farag Fouda, misalnya muncul perdebatan fikih tentang nasab seorang pemimpin: apakah harus dari suku Quraisy atau siapapun yang punya kompetensi. Hadis bahwa seorang pemimpin harus orang Quraisy merebak. Suku Quraisy dinilai lebih mulia dibanding suku lainnya. Padahal dalam Islam, kemuliaan manusia ditentukan oleh ketakwaan. Siapapun yang punya kapasitas, maka berhak memimpin, wajib ditaati dan diawasi.

Fakta lain yang juga perlu dipertanyakan adalah tentang objektivitas ilmu ketika ulama terlibat dalam pusaran konflik kekuasaan. Ilmu pengetahuan semestinya dibangun oleh komunitas ilmiah yang bersifat netral dan bebas nilai. Jika terdapat intervensi politis, maka hasilnya akan mencederai nilai kemanusiaan, seperti ketika Adolf Hitler dari Partai Nazi di Jerman menyebut ras Arya atau keturunan Eropa diciptakan lebih unggul dibandingkan ras manusia lainnya di muka bumi. Klaim pseudo-sains ini membenarkan praktik eugenika.

Atas beragam fakta persengketaan dan brutalisme itu, Buya ingin sejarah Islam, yang umumnya terjadi di tanah Arab, dibuka apa adanya untuk diambil pelajaran. “Sejarah Islam jangan dilihat sisi terangnya saja. Sisi gelapnya juga perlu dibaca. Kesadaran sejarah umat Islam amatlah lemah, termasuk saya,” kata Buya Syafii. Perlu diperkuat penalaran atas wahyu Al-Qur’an yang dilakukan dengan ‘aqlun shahih wa qalbun salim, otak yang sehat dan hati yang tulus.

Melihat berbagai fenomena itu, Buya Syafii mengajak umat Islam untuk keluar dari kotak dan belenggu pertikaian politik atas nama agama. “Kalau masih dalam kotak itu, susah membangun peradaban,” ujarnya. Umat semestinya mengutamakan tafkir atau pikiran kritis dan merdeka, sembari menghilangkan takfir atau memvonis kafir yang justru memperbanyak permusuhan dengan legitimasi agama.

Ideologi takfir melahirkan tragedi demi tragedi, melahirkan penganut ideologi maut. Vonis kafir atau murtad sering diikuti dengan legitimasi halalnya membunuh. Korbannya telah banyak, seperti dialami Nashr Hamid Abu Zaid. Padahal jika mendalami pesan Al-Quran, tentu tidak ada ayat yang membolehkan untuk membunuh sesama ahlu al-qiblah. Membunuh satu nyawa tanpa alasan yang dibenarkan sama dengan membunuh semua kehidupan. “Faktanya, ISIS membunuh jauh lebih banyak umat Islam, itu apa?” terangnya.

Buya pernah mengutip artikel Mustafa Akyol dalam The New York Times¸ 3 Februari 2016. Mustafa Akyol menulis, “Agama bukanlah menjadi pokok utama dari konflik-konflik ini –selalu saja, politik yang mesti disalahkan. Tetapi penyalahgunaan Islam dan sejarahnya menyebabkan konflik politik ini menjadi semakin buruk; saat partai-partai, pemerintah, dan milisi mengklaim bahwa mereka berperang bukan untuk kekuasaan atau wilayah, tetapi atas nama Tuhan.” Atas nama Tuhan, perbuatan biadab seolah dianggap berpahala.

Umat Islam semestinya berani keluar dari warisan kelam misguided arabism. Tidak perlu berlarut tentang formalisasi sistem khilafah atau negara Islam. Yang terpenting, mengambil intisari nilai etik Al-Qur’an. Misalnya, prinsip syura dalam Al-Qur’an dapat dimaknai seperti pemerintahan demokratis, dari rakyat untuk rakyat, tersedia mekanisme partisipasi, pengawasan, dan pendelegasian wewenang. Pemaknaan syura merupakan hasil ijtihad yang terbuka untuk dipertanyakan dan disesuaikan dengan kebutuhan zaman.

Dalam praktik kekhalifahan, ijtihad pengelolaan pemerintahan terjadi, seperti tentang mekanisme pemilihan. Abu Bakar terpilih melalui forum Tsaqifah Bani Saidah. Di kemudian hari, Abu Bakar tidak menganggap cara itu sebagai yang terbaik, ia justru mewasiatkan penggantinya kepada Umar melalui surat tertutup. Berbeda lagi dengan cara Usman dan Ali. Muawiyah dengan cara bersenjata. Cara Yazid bin Muawiyah dengan mewariskan kekuasaan.

Nabi memberi restu penggunaan nalar dalam urusan di luar akidah dan ibadah mahdhah, dengan sabdanya, “kalian lebih tahu urusan dunia kalian.” Kondisi umat Islam tidak akan berubah hanya dengan kembali ke masa salaf yang dinilai sempurna, sembari menggandrungi simbol Arab dalam laku keseharian. Sama halnya, umat Islam tidak akan beranjak ke mana-mana jika menghabiskan energi untuk perdebatan tentang munculnya simbol Dajjal melawan Imam Mahdi.

Buya Syafii tidak membenci Arab, tidak benci khutbah berbahasa Arab di masjid tertentu di Indonesia yang masyarakatnya tidak paham Bahasa Arab. Tetapi semestinya, umat Islam mencintai dan melakukan hal yang lebih esensial. Umat Islam semestinya mencurahkan tenaga untuk internalisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan pribadi dan kehidupan berbangsa.

Muhammad Ridha Basri, Mahasiswa Pascasarjana Studi Al-Qur’an dan Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Redaksi Khilafah.ID

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Islam Yes! Partai Islam No!: Sebuah Penegasan Utuh yang Terus Diterima Hingga Hari ini

Kam Nov 4 , 2021
Khilafah.id – Nur Cholis Madjid, salah satu cendekiawan muslim yang dikenal dengan pemikir Islam salah satu penegasan yang amat terkenal yakni “Islam Yes! Partai Islam No!. ungkapan ini tidak serta sebagai eksistensialis belaka. Lebih dari itu, kalimat diatas justru sebuah penegasan yang utuh lahir dari keresahan masyarakat pada era 70-an […]
Partai