Dr. Fadhl: Dari Mentor Al-Qaeda ke Aktualisasi Jihad Kontemporer

Fadhl

Khilafah.id – Di tengah padang pasir yang gersang, di balik jeruji besi yang dingin, atau di sudut-sudut kota yang riuh, terkadang kita menemukan kisah-kisah yang mengejutkan. Kisah-kisah yang mengajarkan kita bahwa perubahan selalu mungkin, bahkan bagi mereka yang kita kira telah terkunci dalam ideologi yang kaku. Inilah kisah Dr. Fadhl Abdul Qodir bin Abdul Aziz, seorang pria yang pernah menjadi mentor para jihadis, namun kini menjadi advokat perdamaian.

Bayangkan sejenak, seorang dokter bedah yang brilian, lulusan terbaik Universitas Kairo, yang memilih untuk mengangkat pena daripada pisau bedah. Bukan untuk menulis resep obat, melainkan untuk menggoreskan ideologi yang berapi-api. Dr. Fadhl, atau di kalangan jihadis lebih dikenal dengan nama Syekh Abdul Qodir Abdul Aziz, adalah sosok yang unik. Seorang ilmuwan eksakta yang mampu menyelami lautan teks-teks klasik Islam dan muncul dengan tafsiran yang menggetarkan.

Pada masa kejayaannya sebagai ideolog jihad, tulisan-tulisan Dr. Fadhl bagaikan air di padang pasir bagi para pencari legitimasi perjuangan bersenjata. Bukunya, “Al-Umdah fi I’dadil ‘Uddah,” menjadi semacam buku pegangan wajib bagi mereka yang haus akan “jihad” dalam bentuknya yang paling keras. Bayangkan sebuah buku setebal 1.100 halaman yang menjabarkan teori, doktrin, dan dasar hukum untuk gerakan jihad global. Sungguh dahsyat bukan?

Salah satu karya beliau yang juga sangat terkenal ada kitab “Al Jaaami ` Fii Tholabi  Al Ilmi Al Syariif”  yang membahas tentang fikih dan ushul fikh terdiri dari Tujuh jilid.

Namun, seperti kata pepatah, “Hidup ini seperti roda, kadang di atas kadang di bawah,” Dr. Fadhl pun mengalami putaran roda kehidupan yang dramatis. Dari seorang direktur rumah sakit di Pakistan, ia berubah menjadi buronan internasional. Dari Pakistan ke Sudan, lalu ke Yaman, perjalanan hidupnya lebih mirip skenario film aksi daripada kehidupan seorang cendekiawan. Hingga akhirnya, takdir membawanya ke balik jeruji besi di Mesir.

Dan di sinilah, dalam kesunyian sel penjara, proses transformasi itu dimulai.

Bayangkan, seorang pria yang pernah menulis bahwa membunuh turis asing adalah halal, kini mulai mempertanyakan kebenaran pemikirannya sendiri. Ini seperti menyaksikan proses kupu-kupu yang perlahan keluar dari kepompongnya.

Dr. Fadhl mulai menulis lagi. Kali ini bukan untuk menyulut api peperangan, melainkan untuk meredakannya. Dalam karyanya “Watsiqotu Tarsyid Al-Amal Al-Jihadi,” ia menuangkan pemikiran-pemikiran barunya yang mengejutkan banyak pihak. Bagaikan sekuntum mawar yang muncul dari celah-celah batu, pemikiran-pemikiran ini membawa wangi yang segar di tengah aroma mesiu yang telah lama menguar.

“Mengangkat senjata bukanlah tujuan utama,” tulisnya. Kalimat sederhana ini bagaikan gempa yang mengguncang fondasi pemikiran para pengikutnya. Bagaimana mungkin, seorang yang pernah menjadi “guru perang” kini berbicara tentang perdamaian?

Lebih mengejutkan lagi, Dr. Fadhl menyatakan bahwa para turis yang datang ke negara-negara Muslim adalah orang-orang yang terjamin keselamatannya. Dari sini terlihat betapa revolusionernya pemikiran ini bagi mereka yang pernah menganggap setiap orang asing sebagai musuh potensial.

Namun, metamorfosis Dr. Fadhl tidak berhenti di situ. Ia mulai berbicara tentang pentingnya dakwah dengan cara yang damai, tentang muhasabah atau introspeksi diri. Ia mengingatkan bahwa jihad, yang merupakan puncak ibadah dalam Islam, tidak boleh dilakukan atas dorongan nafsu belaka.

“Taklif atau beban itu mengikuti akal dan ilmu,” tulisnya. Sebuah peringatan halus namun tajam bagi mereka yang terlalu bersemangat mengangkat senjata tanpa pemahaman yang mendalam.

Dr. Fadhl bahkan berani mengatakan bahwa tidak semua yang tertulis dalam kitab-kitab klasik dapat diterapkan begitu saja di zaman modern. Sebuah pemikiran yang mungkin terdengar biasa bagi kita, namun bagaikan petir di siang bolong bagi mereka yang terbiasa menerima teks-teks kuno sebagai kebenaran mutlak.

Lantas, apa yang menyebabkan perubahan drastis ini? Apakah hanya karena pengalaman dipenjara? Atau ada faktor lain yang lebih dalam?

Mungkin jawabannya terletak pada sifat dasar manusia yang selalu haus akan kebenaran. Dr. Fadhl, dengan latar belakang ilmiahnya, mungkin tak pernah berhenti bertanya dan mengevaluasi. Pengalaman hidup yang pahit, pergaulan dengan berbagai kalangan selama pelariannya, serta waktu untuk merenung di balik jeruji, semua ini mungkin telah memberinya perspektif baru yang lebih luas.

Atau mungkin, ini adalah bukti bahwa Islam, sebagai agama yang rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam), pada akhirnya akan menuntun para pencarinya ke jalan yang lebih damai dan inklusif. Bukankah perjalanan spiritual sejati selalu mengarah pada cinta dan kasih sayang yang universal?

Tentu saja, perubahan pemikiran Dr. Fadhl tidak diterima begitu saja oleh semua pihak. Ada yang menganggapnya sebagai pengkhianat, ada pula yang curiga bahwa ini hanyalah taktik untuk mendapatkan kebebasan. Namun, bukankah skeptisisme semacam ini justru menunjukkan betapa signifikannya perubahan yang ia lakukan?

Terlepas dari pro dan kontra, kisah Dr. Fadhl memberi kita pelajaran berharga.

Pertama, bahwa perubahan selalu mungkin, tidak peduli seberapa dalam seseorang telah tenggelam dalam suatu ideologi.

Kedua, bahwa pemikiran keagamaan bukanlah sesuatu yang statis, melainkan entitas yang hidup dan berkembang seiring dengan pengalaman dan pengetahuan manusia.

Lebih jauh lagi, kisah ini mengingatkan kita akan kompleksitas jiwa manusia. Bahwa di balik sosok yang kita anggap “ekstremis” atau “radikal”, mungkin tersembunyi seorang pencari kebenaran yang tulus. Bahwa label-label yang kita tempelkan pada orang lain seringkali tidak mampu menangkap keseluruhan esensi mereka.

Lantas, apa yang bisa kita pelajari dari transformasi pemikiran Dr. Fadhl ini?

Pertama, pentingnya keterbukaan pikiran.

Jika seorang ideolog jihad sekaliber Dr. Fadhl bisa berubah pikiran, maka kita pun harus selalu siap untuk mengevaluasi keyakinan-keyakinan kita sendiri.

Kedua, kekuatan introspeksi.

Perubahan Dr. Fadhl tidak terjadi dalam semalam, melainkan melalui proses perenungan yang panjang dan mungkin menyakitkan. Ini mengingatkan kita bahwa pertumbuhan spiritual dan intelektual seringkali membutuhkan keberanian untuk menghadapi sisi gelap diri kita sendiri.

Ketiga, pentingnya konteks dalam memahami ajaran agama.

Pemikiran baru Dr. Fadhl yang menekankan pentingnya memahami konteks dalam menerapkan hukum Islam adalah sebuah pengingat bahwa agama bukanlah seperangkat aturan kaku, melainkan panduan hidup yang harus ditafsirkan dengan bijaksana sesuai dengan situasi dan kondisi.

Keempat, kekuatan pena.

Bahwa perubahan tidak selalu harus dilakukan dengan kekerasan atau revolusi berdarah. Terkadang, sebaris kalimat yang ditulis dengan kejujuran dan ketulusan bisa lebih kuat dampaknya daripada sepucuk senjata.

Akhirnya, kisah Dr. Fadhl adalah kisah tentang harapan. Harapan bahwa di tengah dunia yang sering terlihat semakin terpolarisasi, masih ada ruang untuk dialog dan perubahan. Bahwa perdamaian, betapapun tampak mustahil, selalu dan sangat mungkin untuk diwujudkan jika kita membuka hati dan pikiran kita.

Saat ini, di salah satu sudut Mesir, mungkin Dr. Fadhl sedang menulis lagi. Kali ini bukan untuk menyulut api peperangan, bukan pula untuk membela diri, melainkan untuk terus mencari dan menyebarkan kedamaian. Dan mungkin, dalam setiap goresan penanya, ia menemukan kembali makna sejati dari kata “jihad” – perjuangan– , bukan melawan orang lain, melainkan melawan ego dan kebodohan diri sendiri.

Sebagai penutup, mari kita renungkan: Jika seorang Dr. Fadhl bisa berubah, lantas siapa lagi yang tak mungkin berubah? Mungkin, kisahnya bisa menjadi cermin bagi kita semua. Untuk selalu bertanya, selalu mencari, dan selalu berani untuk berubah menjadi versi terbaik dari diri kita. Karena pada akhirnya, bukankah itu esensi dari perjalanan hidup kita sebagai manusia?

Surabaya, 31  Juli  2024

Abu Fida, Mahasiswa Program Doktor Islamic Studies PPs UINSA

Redaksi Khilafah.ID

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Efek Pembubaran JI: Ancaman JAD Semakin Meningkat?

Sel Agu 13 , 2024
Khilafah.id – Sore hari yang cerah di akhir pekan yang lalu, saya menghadiri undangan ngopi dari seorang kawan karib di sebuah kafe di pinggiran kali. Sambil menatap sang surya yang beranjak turun ke peraduan, kami membahas tentang fenomena terkini seputar dunia penanggulangan terorisme. Kebetulan kami punya passion dan beraktivitas di […]
JAD

You May Like