Fenomena Westernisasi Arab dan Pribumisasi Islam ala Gus Dur

pribumisasi

Khilafah.id – Perayaan Halloween berlangsung dipenjuru dunia tak terkecuali di Ibu Kota Arab Saudi. Masyarakat Saudi berkumpul di Boulevard Riyadh untuk menyelenggarakan “Pekan Menyeramkan/Scary Event”. Fenomena yang aneh dan membingungkan untuk ukuran negara yang penduduknya menganut Islam konservatif.

Sejak kepemimpinan Pangeran Mohammed bin Salman (MbS) diangkat menjadi putra mahkota Arab Saudi, negara tersebut telah mengalami berbagai perubahan ke arah lebih moderat.

Selain fenomena di atas, sejumlah kebijakan baru seperti konser, bioskop, legalisasi penjualan alkohol dan penggunaan bikini di tempat-tempat tertentu, serta pelonggaran larangan terhadap perempuan. Semua hal ini merupakan upaya diversifikasi ekonomi negara agar tidak terlalu bergantung pada minyak.

Umat Islam dewasa ini cenderung menjadikan negara Arab Saudi sebagai kiblat rujukan beragama. Penyeragaman cara berislam didukung sebagai upaya sistematis agar pemahaman Islam Indonesia harus selaras dengan konteks Islam Timur Tengah. Unsur-unsur budaya lokal tercerabut, kaum lelaki harus memelihara jenggot, kain sarung diganti jubah, dan kubah diubah sedemikian rupa seperti model Timur Tengah. Alhasil, kehidupan umatpun berubah menjadi sangat formalistik.

Realitas inilah yang digugat Abdurrahman Wahid yang bermula formalisme Islam “Arabisasi penuh” terhadap wawasan Islam di Indonesia. Maka perlunya kesadaran dalam memupuk kembali unsur-unsur muatan lokal tanpa menghilangkan esensi dari ajaran Islam itu sendiri yang sifatnya “ushuli”.

Pada Muktamar NU di Situbondo 1984, Gus Dur memperkenalkan ide pengintegrasian antara keislaman dan unsur-unsur lokalitas tanpa mengubah substansinya demi memenuhi budaya lokal yang populer disebut sebagai “Pribumisasi Islam”.

Gagasan Pribumisasi Islam yang diungkapkan oleh Abdurrahman Wahid merupakan jawaban atas masalah yang dihadapi umat Islam, yaitu upaya mengintegrasikan tanpa melakukan sinkretisme antara budaya (adat) dan norma (syariah).

Islam bersumber pada Al-Qur’an dan Hadist yang sifatnya normatif dan permanen. Budaya merupakan buatan manusia dan akan berkembang menyesuaikan zaman dan sifatnya dinamis. Dalam taraf tertentu akibat integrasi agama dan budaya sepanjang sejarah di Indonesia, maka muncullah berbagai tradisi halal bihalal, gotongroyong, Musabaqah Tilawah Al-Qur’an (MTQ), budaya santri, dan sebagainya.

Maka dari itu, seharusnya umat muslim di Indonesia patut berbangga Islam Keindonesiaan saat ini. Proses kreatif ulama/wali di masa lalu melahirkan budaya didalamnya terdapat kebaikan Islam, seperti syukuran dan maulid Nabi yang notabene kerap kali menjadi sasaran kritik.

Fenomena yang menghebohkan di Arab Saudi baru-baru ini merupakan refleksi bagi umat muslim untuk sadar tidak ada satupun negara yang harus dijadikan sebagai rujukan untuk berislam secara “kaffah”. Meskipun Islam lahir di Arab tak ubahnya harus identik berkehidupan seperti budaya Arab. Islam dalam konteks ajaran adalah semua materi yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah, sedangkan manifestasi di Arab adalah budaya.

Syamsul Haq, Penggerak Jaringan GUSDURian, Pemuda Penggerak Perdamaian GKJW 2022.

Redaksi Khilafah.ID

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Tafsir Kontemporer Bisakah Memecahkan Masalah Umat?

Sel Nov 8 , 2022
Khilafah.id – Tafsir yang secara bahasa berarti menjelaskan dan menerangkan sedangkan secara istilah tafsir merupakan ilmu untuk memahami kitab suci Allah dan diturunkan kepada Nabi Muhammad yakni dengan menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya, Seperti yang kita ketahui kegiatan menafsirkan al-Qur’an merupakan kegiatan yang tidak bisa di lakukan oleh […]
Tafsir Kontemporer