Indoktrinasi Sesat Salafi di Masjid Kita (1); Masyarakat Harus Waspada!

Ali Musri

Khilafah.id – Ini bukan opini. Saya ingin membuktikan, melalui tulisan ini, bahwa Salafi telah menjalar ke berbagai masjid kita, atau membangun masjid di sekitar kita untuk memasarkan ajarannya. Dan jelas, ini pertanda buruk. Salafi seperti lintah yang hendak menyedot darah, membunuh keharmonisan masyarakat. Padahal selama ini masjid kita adalah ladang dakwah, sekarang sudah jadi ladang penyesatan oleh Salafi. Masyarakat benar-benar harus waspada.

Bermula dari edaran flyer tentang diskusi ilmiah dengan tema “Bincang-bincang dengan Mantan Teroris Tentang Akar Pemikiran Teroris” di Masjid Baiturrahmah, Jl. Legoso Raya, Pisangan, Ciputat Timur, pada Ahad (13/3) malam. Saya hadir ke acara tersebut, berharap menambah wawasan tentang terorisme dan kontra-narasi. Apalagi narasumbernya, bagi saya, tidak asing. Ada Nasir Abbas, eks-Amir Jemaah Islamiyah Filipina, dan Sofyan Tsauri, eks-Panglima Al-Qaeda Aceh.

Dua narasumber lainnya, Ali Musri Semjan Putra dan Abdurrahim Ayyub, sama sekali asing bagi saya. Namun saya tidak berpikir jauh. Saya menangkapnya, acara itu semacam literasi pada masyarakat umum tentang bahaya terorisme, yang hari-hari ini tengah marak. Saya sama sekali tidak merasa aneh. Apalagi para audiennya adalah jemaah masjid. Saya pikir, acara tersebut menarik. Namun pandangan saya berbalik seratus delapan puluh derajat setelah acara dimulai.

Saya membaca gelagat mencurigakan, ketika di sesi perkenalan, Ali Musri dan Abdurrahim langsung menyerang Nasir dan Sofyan. Saya baru paham seutuhnya, ketika melihat moderator berdiri di tengah, seolah menengahi, menciptakan sekat bahwa acara tersebut murni debat untuk menjatuhkan Nasir dan Sofyan. Saya jadi sangat penasaran ketika Nasir bilang, “saya tidak mau berdebat, tetapi kalau mau tanya pengalaman, akan saya jawab.”

Saya harus menyimpulkan di sini, acara tersebut digelar oleh panitia yang pro-Salafi, artinya pro-Ali Musri dan Abdurrahim. Panitia hendak menjatuhkan argumen Nasir dan Sofyan, membuktikan kepada masyarakat bahwa ajaran Islam yang paling benar adalah Salafi atau Wahhabi. Saya sangat jengkel menyaksikan, bahwa di situ sedang berlangsung indoktrinasi sesat Salafi. Lebih menjengkelkan lagi ketika audiennya adalah jemaah alias masyarakat umum.

Apa yang ada dalam pikiran panitia? Apakah mereka hendak menyesatkan jemaah? Mengapa jika memang mau menggelar debat, mereka tidak menjadikan acara tersebut forum ilmiah? Mengapa audien yang mereka sasar adalah masyarakat awam yang pengetahuannya terbatas? Di masjid itu, malam itu, saya menyaksikan, indoktrinasi sesat Salafi digelar di masjid. Maka, masyarakat harus waspada!

Salafi Bukan Fitnah, Merekalah Penebar Fitnah

Salah satu jurus untuk menipu dan mengelabui umat sembari menarik simpati mereka kepada kita adalah mengatakan, kepada mereka, bahwa kita difitnah. Bersamaan dengan itu, kita suguhkan dalil-dalil dari Al-Qur’an, hadis, dan kitab klasik. Jurus itulah yang dilakukan oleh para tokoh Salafi. Mereka bilang, mereka difitnah, lalu meminta para jemaah mengikuti mereka dan membenci si pemfitnah. Saya ingin buktikan di sini, merekalah kelompok iblis pemfitnah yang sebenarnya.

Di sini perlu ditegaskan, saya tidak akan memaparkan bagaimana argumentasi Nasir Abbas dan Sofyan Tsauri dalam acara itu. Faktanya, panitia bersikap berat sebelah, dan Ali Musri telah menyiapkan sepuluh pertanyaan tanpa dikonfirmasi sebelumnya. Kita tahu, terorisme adalah penyesatan agama. Nasir dan Sofyan telah bebas dari kesesatan itu. Lalu di acara tersebut, mereka dibantai oleh fitnah-fitnah Salafi dengan waktu bicara yang juga tidak imbang? Bukankah itu indoktrinasi menyesatkan?

Lalu apa saja fitnah Salafi yang saya maksud? Mari saya telanjangi mereka.

Pertama, Ali Musri bilang, Muhammad bin Abdul Wahhab difitnah ulama belakangan. Ali Musri telah memfitnah ulama yang berusaha meluruskan kesesatan yang diajarkan Bin Wahhab, seolah-olah korbannya adalah Bin Wahhab. Padahal, korbannya adalah ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah. Dan ulama belakangan seperti Ramadhan al-Buthi, juga mayoritas ulama Azhari, berusaha menolong Ahlussunnah dari ajaran menyimpang berkedok pemurnian Islam ala Bin Wahhab.

Paham maksud saya, ‘kan? Jadi ilustrasinya begini: ajaran Ahlusunnah sudah mapan, dalam artian bahwa para ulama Aswaja tidak melakukan penyimpangan. Lalu lahirlah Muhammad bin Abdul Wahhab, yang mengatakan bahwa ulama Aswaja banyak menyimpang, dan ia berusaha meluruskan. Ternyata, apa yang Bin Wahhab lakukan justru adalah penyimpangan yang sebenarnya, sehingga para ulama berusaha melawan dan meluruskannya. lalu pengikut Bin Wahhab bilang panutannya difitnah? Di mana akal mereka?

Kitab yang Ali Musri bacakan dalam acara itu adalah kitab playing victim, seolah Bin Wahhab jadi korban fitnah ulama Aswaja. Bin Baz, Utsaimin, dan ulama Salafi lain yang lahir belakangan, yang semasa dengan Ramadhan al-Buthi, siapa yang memulai pertarungan mereka dalam kitab-kitabnya? Al-Buthi menulis banyak kitab yang menelanjangi Salafi-Wahhabi, mulai dari sejarah, tokoh, dan ajarannya. Lalu apa yang terjadi? Buku-buku al-Buthi dibakar dan orangnya dibom saat mengisi pengajian.

Kedua, Ali Musri bilang, istilah Salafi adalah fitnah karena sebenarnya mereka adalah pengikut salaf al-shalih. Ini juga jelas merupakan fitnah yang kejam, dengan menutupi muka buruk Salafi itu sendiri. Kebenarannya, Salafi yang ada sekarang, dan menguasai masjid-masjid termasuk masjid yang menyelenggarakan acara tersebut, bukan pengikut salaf al-shaleh, tapi pengikut Bin Abdul Wahhab yang menyamar demi untuk menipu seluruh umat Islam.

Salafi yang ada sekarang adalah “Salafi mazhab”, bukan “Salafi era”. Mazhab mereka adalah Ahmad bin Hambal dan Ibnu Taimiyah yang tekstualis, tetapi panutan utamanya tetaplah Muhammad bin Abdul Wahhab, Utsaimin, Bin Baz, dan Albani. Semua rujukan mereka, termasuk yang Ali Musri kutip, berasal dari mereka. Lalu mereka mengaku pengikut salaf al-shalih? Itu palsu, fitnah. Kita semua adalah pengikut salaf al-shalih sebagai era (marhalah zamaniyah), tetapi bukan mazhab tertentu seperti Salafi.

Ketiga, Salafi bukan teroris. Ini adalah pembelaan yang klise. Dipaksa-paksakan agar umat mengikuti Salafi. Saya ingin mengingatkan kembali, bahwa Abdullah ‘Azzam, guru Osama bin Laden pendiri Al-Qaeda, mengaku diri sebagai Salafi. Apakah ‘Azzam dan Bin Laden bukan teroris? Salafi akan berdalih bahwa Salafi tidak mengajarkan terorisme. Sekilas itu tampak benar. Salafi tidak mengajari terorisme secara langsung, tetapi doktrin mereka yang keras adalah gerbang utama menuju terorisme.

Apa yang saya maksud gerbang utama? Tidak lain adalah kekakuan mereka menghadapi perbedaan dan keberanian mereka mengafirkan bahkan membunuh siapa pun yang mereka anggap kafir dalam doktrin mereka sendiri, meskipun saudara sesama Muslim. Tetapi, Salafi membelokkan doktrinnya untuk menyembunyikan kesesatan mereka. Dan demikian, umat Islam tetap bisa mereka tipu.

Membelokkan Doktrin, Menyembunyikan Kesesatan

Siapa yang membunuh al-Buthi dengan bom? Siapa yang mengajarkan tentang kebolehan membunuh sesama Muslim? Siapa aktor di balik bom-bom gereja dan bom bunuh diri di Indonesia? Siapa yang suka menyesatkan dan mengafirkan orang lain? Kemurnian Islam yang geng Ali Musri suguhkan bukanlah kemurnian, melainkan fitnah-fitnah yang terbungkus. Jika masyarakat tidak jeli melihat, Salafi akan tampak sebagai kebenaran. Padahal hakikatnya kebatilan.

Ulama Al-Azhar yang masyhur, Syekh Ali Jum’ah pernah menerangkan, Salafi menganggap sesat para ulama Azharian dan menuduh mereka sebagai ahli bid’ah dan Syiah. Tetapi mengapa Ali Musri mengatakan, dalam acara kemarin, bahwa Salafi atau Wahhabi tidak mengafirkan orang, tidak memurtadkan orang, tidak menghendaki makar, tidak akan melakukan teror, dan tidak akan menghancurkan kubah Masjid Nabawi?

Itu semua karena sebagaimana Salafi pada umumnya, Ali Musri menyembunyikan kesesatannya. Jelas-jelas, dalam website miliknya, dzikra.com, ia menulis artikel berjudul “Mengapa Terorisme Dikecam” yang isinya berupa pembelaan akan terorisme itu sendiri. Ia berdalih, terorisme yang selama ini terjadi bukanlah teror, melainkan upaya memberantas kemungkaran. Ia juga menulis artikel  berjudul “Pengkultusan Kepada Kubur” yang isinya menuduh sesat sesama Muslim.

Bagi Salafi, ziarah seperti dalam tradisi NU digeneralisasi sebagai ritual sesat meminta pada kuburan. Lalu mereka bilang tidak suka menuduh sesat? Benar-benar pemfitnah. Bagi Ali Musri, seperti juga pernah disinggung dalam ceramah Khalid Basalamah, meminta itu langsung kepada Allah, bukan pada kuburan. Sekarang Anda bisa tanya ke ulama NU, apakah iya mereka meminta ke kuburan? Apakah iya ziarah mengandung kemusyrikan? Tidak, itu fitnah Salafi.

Debat tentang itu luas, dan siapa pun bebas mau ziarah atau tidak, selama tidak suka mengafirkan saudaranya yang seiman—sebagaimana kelakukan Salafi. Saya pun tidak masalah Salafi berkeliaran, selama mereka tidak menebarkan fitnah. Apalagi, seperti pada malam itu, mereka membuat sanggahan yang tidak adil dan tidak proporsional. Masyarakat awam jadi target indoktrinasi sesat mereka, dan masjid kini jadi ladangnya.

Hati-hati dan waspadalah dengan Salafi. Mereka tidak mengajarkan Islam yang murni, itu hanya tipuan belaka. Banyak ulama yang jauh lebih kredibel untuk diikuti, kenapa harus memilih Bin Wahhab, Bin Baz, Utsaimin, dan Albani? Hanya karena argumentasi tipuan yang terdengar meyakinkan, mengapa masyarakat lupa bahwa Salafi adalah dalang di balik kekacauan di seluruh dunia gara-gara cita pemurnian Islamnya yang palsu? Akan saya bahas di bagian yang akan datang.

Bersambung…

Ahmad Khoiri, Mahasiswa SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Redaksi Khilafah.ID

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Lakum Dinukum Wa Liyadin Dalil Bersikap Eksklusif?

Sel Mar 22 , 2022
Khilafah.id – Menarik sekali kritik salah satu pejabat teras MUI, Amirsyah Tambunan ketika mengomentari salah satu poin ciri penceramah radikal yang disampaikan oleh BNPT terkait : mereka yang memiliki sikap eksklusif terhadap lingkungan ataupun perubahan serta intoleransi terhadap perbedaan maupun keragaman. Menanggapi ini Amirsyah lalu mengatakan “Secara proporsional sikap ini […]
Lakum Dinukum