Jamaluddin al-Afghani Mengkritik Khilafah Islamiyah

Jamaluddin Al Afghani

Khilafah.id – Sejak abad ke-9 M hingga memasuki abad ke-14 M menjadi masa keemasan Islam dalam panggung peradaban dan ilmu pengetahuan. Ternyata euforia ilmu pengetahuan terhenti hanya sampai pada abad ke-14, setelah masa ini umat Islam tertidur pulas dari romantisme masa lalu mengenai kejayaan Islam. Mereka baru sadar setelah negeri-negeri Islam jatuh di tangan para kolonial Barat seperti Prancis, Inggris, dan Rusia.

Dengan jatuhnya bangsa-bangsa Islam ke tangan kolonial seperti Barat, seolah-olah hal itu menyadarkan umat Muslim akan kelemahan mereka yang selama ini belum mereka sadari dan menyadarkan umat Muslim atas Barat yang sudah menguasai ilmu pengetahuan dan sains. Umat Muslim menyebut, abad ini sebagai abad modern yang penuh dengan gegap gempita kemajuan teknologi.

Menyadari akan situasi dan kondisi umat Muslim yang sudah tertinggal jauh dari orang Barat, muncullah pembaharu-pembaharu Muslim yang mengupayakan pembangunan ulang alam pikir masyarakat Islam, salah satunya Jamaluddin al-Afghani. Al-Afghani berinisiatif untuk membangunkan umat Islam dari tidur panjang dengan cara menghidupkan kembali ruh al-ijtihad wa al-jihad.

Karier Politik Jamaluddin al-Afghani

Jamaluddin al-Afghani yang bernama Muhammad bin Safdar, lahir di tanah Kabul, Afganistan bertepatan pada tahun 1254 H atau 1839 M. Ia berasal dari keluarga yang terpandang dan berpengaruh yaitu al-Tarmizi keturunan Husein bin Ali. Al-Afghani kecil sudah menyukai ilmu pengetahuan ini terbukti ketika menginjak usia 18 tahun al-Afghani sudah menguasai ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu pasti.

Keikutsertaannya dalam dunia politik dimulai ketika membantu Amir Dust Muhammad Khan dalam mengkampanyekan politiknya melawan kaum kolonial Inggris. Namun, kekalahan A’zam Khan membuat al-Afghani yang sangat anti-Inggris, di buang dari Afghanistan dan pergi ke India. Di sana ia diterima dengan tangan terbuka dan pemikirannya sangat dihormati. Walaupun demikian ia harus berhadapan dengan Sayyid Ahmad Khan yang mewakili kelompok pembaharu Muslim yang pro-Inggris yang kebanyakan sangat menekan kelompok Islam tradisional (Ali Rahmena, 1995:25).

Kita lihat misalnya di Mesir, ada suatu gerakan Revolusi Urabi, yakni gerakan pemuda Mesir yang memopulerkan nama al-Afghani. Niatan awal pergi ke Mesir pada tahun 1871 M untuk menimba ilmu pengetahuan yang ingin ia pelajari dan rumahnya dijadikan sebagai tempat diskusi dan bertukar pikiran mengenai ilmu pengetahuan. Namun, kiranya dunia politik tidak bisa dilepaskan dari al-Afghani dan akhirnya ia memutuskan untuk bergabung memikirkan permasalahan yang ada di sana.

Dengan semangat pembaharuan Islam, al-Afghani dan temannya at-Tahtawi mendirikan partai politik yang bernama al-Hizb al-Watani, dengan slogan “Mesir untuk orang Mesir”. Keberadaannya di sana sangat berpengaruh baik dari kalangan intelektual maupun kalangan masyarakat Mesir pada umumnya. Dengan begitu ia lebih leluasa menyampaikan ide-idenya mengenai program politiknya melalui pan-Islamisme yang bertujuan untuk menentang penetrasi Barat terhadap Islam.

Gerakan perlawan al-Afghani terhadap imperialisme tidak hanya terjadi di dunia Timu Islam, tetapi juga ia lakukan di Barat seperti di Inggris, Prancis, dan Turki. Di Prancis bersama muridnya Muhammad Abduh menerbitkan koran berbahasa Arab, Al-Urwah Al-Wutsqa sebagai propaganda al-Afghani atas Inggris supaya umat Muslim melawan kaum kolonial dan menahan serbuan Inggris atas Mesir dan Sudan. Di situ juga argumen-argumen al-Afghnai mengenai persatuan antara negara Islam dapat membendung serbuan pihak di kemudian hari.

Kritiknya Atas Khilafah Islamiyah

Ide dan gagasan Jamaluddin al-Afghani tidak lahir dari ruang yang hampa, tetapi hadir sebagai respon atas beragam persoalan zaman. Sebagai seorang yang mengetahui betul makna dari suatu perjuangan, apa yang dipikirkan sudah barang tentu menjadi suatu cita-cita yang harus diwujudkan. Secara jelas perwujudannya ini terkait bagaimana membuat persatuan dan kesatuan umat Muslim. Lemahnya persaudaraan Muslim yang menyebabkan kemunduran umat Islam. Tali persaudaraan dalam telah putus, bukan hanya di kalangan awam saja, melainkan dikalangan ulama.

Dengan melihat umat Islam mengalami kemunduran, statis, dan bersifat fatalis, al-Afghani kemudian membentuk kelompok Muslim yang terdiri atas berbagai umat di seluruh negara yang menyebut kelompoknya sebagai Ummah. Ummah ini suatu komunitas politik yang menyatakan dirinya bersatu dalam berbagai bentuk kehidupan politik. Ummah ini juga memiliki semua kualitas yang penting bagi kemauan peradaban, kemajuan sosial, kemajuan individual, kepercayaan nalar, kesatuan, dan solidaritas.

Albert Hourani dalam bukunya Arabic Thought in The Liberal Age 1798-1939 menyebutkan bahwa seruan untuk kesatuan dan persatuan benar-benar menjadi tema pokok al-Afghani. Al-Afghnai juga menentang bentuk pemerintahan monarki absolut seperti dinasti, karena itu bisa merusak tali persatuan dan kesatuan dalam diri umat Muslim. Seharusnya, bagi al-Afghani pemimpin Muslim harus bekerja sama untuk membangun persatuan dan kesatuan demi Islam.

Lanjut Hourani, walaupun gagasan al-Afghani begitu jelas dan gamblang mengenai persatuan dan kesatuan mewujudkan cita-cita Islam tapi tidak ada pertanda dan niatan untuk membangun atau menciptkan Negara Islam yang tunggal atau menghidupkan kembali kekhalifahan tunggal seperti masa-masa awal Islam (Albert Hourani, 2004:188). Walaupun bagi al-Afghani, khalifah merupakan fardhu syariat untuk ditegakkan serta sesuai dengan tradisi Islam. Namun, untuk menjalankan itu memiliki persyaratan yang berat, maka itu semua perlu direduksi menjadi pan-Islamisme.

Hal ini bukannya tanpa alasan, karena ada beberapa alasan yang menyebabkan sistem khilafah islamiyah sulit diterapkan dan bersifat absurd dan tidak realistis. Pertama, amat tidak mungkin mencari sistem khilafah islamiyah yang disepakati oleh umat Muslim dunia. Kedua, jika khilafah islamiyah adalah suatu lanscape dan wadah untuk memformalisasikan syariat Islam, maka akan muncul berbagai pertanyaan sederhana muncul dipermukaan yang jelas menghambat diterpakannya sistem khilafah islamiyah. Ketiga khilafah tidak memiliki historis yang dikatakan suskes secara memadai.

Dengan ketiga alasan tersebut khilafah islamiyah tidak bisa diterapkan dalam negara Islam. Al-Afghani juga menekankan umat Muslim perlu adanya persatuan dan kesatuan untuk melawan kekuatan asing melalui wadah Pan-Islamisme bukan Khilafah Islamiyah. Baginya sumber kelemahan umat Muslim kurangnya bentuk solidaritas atas sesama, seandainya solidaritas umat Muslim kuat, maka dengan mudah akan menghadapi bentuk kolonialisme yang datang dari Barat.

Raha Bistara, Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prodi Aqidah dan Filsafat Islam.

Redaksi Khilafah.ID

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Ketika Ulama Indonesia Memahami Khilafah

Sab Okt 2 , 2021
Khilafah.id – Konsep khilafah dan praktiknya dalam Islam masih menjadi perdebatan panjang di kalangan umat Muslim. Sepanjang sejarah, ideologi khilafah sebagai sistem politik dikampanyekan oleh hanya segelintir kelompok saja. Sedangkan negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim tidak menerapkan khilafah sebagai sistem negara. Lalu bagaimana tanggapan ulama dan cendekiawan Indonesia? Dalam konteks negara […]
Ulama