Kampanye Khilafah, Dosen HTI, dan Kampus Umum-PTKIN Indonesia

Kampanye Khilafah

Khilafah.id – Usaha membendung arus kampanye khilafah dan radikalisme tidak bisa dilakukan hanya dengan menolak atau menangkap tokoh organisasi terlarang. Melainkan memerlukan sebuah aksi pemerintah dan dakwah Islam otentik berkebudayaan yang berkesinambungan dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat utamanya di kampus. Semua otoritas, dosen, penganjur dan pengikut agama di sini perlu senergikan.
Kampanye Khilafah dan Strategi Dosen HTI

Kampanye Khilafah dan dosen HTI memiliki stategi canggih. Mereka melakukan itu melalui bungkus seminar, halaqah, dan kegiatan lainnya. Yang penting bagi simpatisan HTI adalah kampanye khilafah tetap berjalan. Dan nafas khilafah tetap hidup dan bergelirya.

Maka itu menukangi gerilya kampanye khilafah, semua aparat, dosen, petinggi kampus, dan penganjur agama-agama perlu bermufakat. Bahwa tidak ada agama yang anti kemanusiaan dengan menganjurkan aksi kekerasan dan penggulingan pemerintah yang sah. Di sini, seluruh semua masyarakat dan semua penganut agama harus menerima dan menyadari dulu dasar-dasar negara dan agama bahwa prinsip agama hanya pengacu pada satu nilai: kemanusiaan.

Dari situ, otomatisasi seluruh masyarakat dan pendakwah dan umat Islam mempromosikan tindakan yang santun, ramah, dan berakhlak mulia. Demikian itu, meraka secara langsung (akan) menolong kaum yang menderita, dan peduli pada orang-orang yang mustadifin, plotetar, pinggiran, dan yang tertindas.

Karena kampanye khilafah dan radikalisme berawal dan merupakan gejala sosial dan agama. Maka deradikalisasi perlu dengan cara harmonisasi sosial dan agama. Maka itu, kegiatan counter terhadap kampanye khilafah dan radikalisme harus melibatkan peran serta politisi, para tokoh hukum adat, juru dakwah (da’i), khatib, para mubaligh. Serta guru agama dan para tokoh masyarakat untuk menyebarkan paham sosial dan ajaran Islam otentik humanis: yaitu Islam menolak kampanye khilafah seperti menjadi fenomena kampus besar Tanah Air.

Praksisnya, salah satu strateginya adalah dengan melakukan pembinaan dan melatih dosen, mahasiswa, dan semua komponen masyarakat. Baik dosen, juru dakwah dan khatib bersadarkan cara pandang baru tentang negara bangsa dan tafsir agama yang lebih humanis. Tafsir negara bangsa dan agama ini diletakkan sebagai jihad untuk membela mereka yang tertindas dan menderita tanpa pandang bulu/paham etnis/keagamaan dan kepemelukan sebagaimana yang tercontohkan Rasul SAW. Disamping itu memberikan modul dan pemberdayaan material.

Pendekatan Moderasi dan Berkebudayaan

Satu tujuan utamanya berbangsa-bernegara dan bernegara adalah untuk menebarkan pemahaman humanisme bangsa dan agama (Islam) yang otentik. Dengan sinergi/kolaborasi bersama entitas kelompok-kelompok lain, baik etis, suku, dan keagamaan. Di sini, seharusnya para dosen, negarawan dan juru dakwah agama memainkan peran secara sosiologis untuk membendung segala macam rupa problem sosial guna memberi rasa aman pada semua pihak. Khususnya tidak membuat Indonesia tercabik-cabik dan bubar.

Di sini juga perlu penyadaran rasa tanggung jawab manusiawi sebagai satu kesatuan bahwa kita manusia sesungguhnya bernegara, berbangsa, dan bersaudara dalam satu rumah tangga: Indonesia. Maka itu jalan keluar yang perlu tergalakkan adalah tidak lain melihat jangka panjang dengan cara memberi penanaman pilar-pilar kebangsaan yang otentik adil.

Modul training mereka bagikan secara merata yang memuat ajaran inti kebangsaan dan keislaman yang ramah. Kemudian, ketersediaan agenda buat mereka harus terlakukan secara komprehensif dengan saluran tema-tema kebangsaan dan Islam yang mudah terpahami sebagai usaha meredam kampanye khilafah dan radikalisme di tubuh mahasiswa, jamaah dan masyarakatnya serta umat manusia.

Melihat Strategi HTI dan Deradikalisasi

Selanjutnya, pengembangan tersebut harus terbarengi dengan pembelajaran kebudayaan sosial dan norma adat yang ramah sebagai perlawanan pada ajaran tauhid HTI dan radikalisme agama. Kendati itu juga, dosen dan masyarakat harus membangun pada pengembangan usaha ekonomi. Misalnya, melakukan pelatihan wirausaha akar rumput bagi masyarakat, para pendakwah, jamaah, dan kelompok separatis radikal. Pemberian modal pemahaman moderat dan pemberian modal usaha ekonomi kepada mereka (Bilverr Sigh & Abdul Munir Mulkhan, 2012).

Jika sudah lakukan, praktik kebangsaan, keagaman dan kebudayaan mereka mulai tingkatkan. Praktik kebangsaan, keagamaan dan kebudayaan terkembangkan sebagai proses sosial keummatan.

Pada tahapan ini, dialog sosial kebangsaan dan agama serta kebudayaan membuka peluang bagi negoisasi politik di antara suku, etnis dan pemeluk agama dan paham yang berbeda. Bahkan kepada mereka yang masih tetap setia melakukan kampanye khilafah, doktrin “anti Indonesia dan anti tradisi rakyat.” Serta untuk terekatkan kembali sebagai pencegahan kembali teror agama dan lebih memihak pemecah masalah kemanusiaan dibadingkan saling tuduh dan saling klaim atas kebenaran.

Dari situlah, ajaran kebangsaan Islam dan kebudayaan menjadi proses transendensi yang menerobos pembatas dan sistem sosial politik, kelas, etnisitas dan batas kultural-natural geografis. Dari sini pula, kampus-kampus umum dan keislaman sebagi hudan (petunjuk). Dan furqan linnaas (pembeda atau penerang bagi manusia) serta bayyinat min al-huda (pencerah atau penjelas dari beragama petunjuk dan paradigma hidup orang Indoesia.

Agus Wedi, Peminat Kajian Sosial dan Keislaman.

Redaksi Khilafah.ID

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Farag Fouda: Kritik Khilafah sebagai Candu Formalisasi Syariat Islam

Rab Nov 3 , 2021
Khilafah.id – Pada bulan Januari 1992, Farag Fouda menghadiri sebuah perdebatan dalam rangka pameran buku koleksi Kairo. Mereka terdiri dari dua kubu. Pertama, dari Fouda sendiri dan Muhammad Ahmad Khalafullah. Dari kubu kedua, Muhammad Al-Ghazali, Ma’mun Al-Hudaibi dan Muhammad Imara. Perdebatan ini bermula dari karyanya Fouda yang mengundang kontroversi yaitu […]
Farag Fouda