Khilafah.id – Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal menyebutkan, baru badan usaha dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama yang mengajukan permohonan izin tambang. Lokasinya di Kalimantan Timur. Permohonan ini dalam status diproses.
”Saat ini ormas keagamaan belum ada yang mendapatkan IUPK (izin usaha pertambangan khusus). Baru proses permohonan dari badan usaha PBNU,” kata Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Yuliot, melalui pesan singkat, Rabu (5/6/2024).
Permohonan wilayah IUPK yang diajukan PBNU, menurut Yuliot, ialah lahan eks Perjanjian Karya Pengusaha Pertambangan Batubara (PKP2B) di Kalimantan Timur.
Kompas menanyakan kepada Ketua PBNU Ahmad Fahrur Rozi, apakah badan usaha PBNU akan bermitra dengan pihak lain. Namun, hingga Rabu (5/6/2024) pukul 17.00 WIB, ia belum memberikan respons.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Batubara, antara lain, berisi pasal yang memberi privilese kepada ormas keagamaan untuk memperoleh izin tambang.
Melalui aturan yang diundangkan pada 30 Mei 2024 ini, organisasi kemasyarakatan keagamaan dapat diprioritaskan sebagai penerima penawaran wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) eks PKP2B.
Dalam PP disebutkan bahwa kepemilikan saham ormas keagamaan dalam badan usaha yang dimaksud harus mayoritas dan menjadi pengendali. Hak konsesi juga tidak dapat dipindahtangankan dan/atau dialihkan tanpa persetujuan menteri.
Badan usaha juga dilarang bekerja sama dengan pemegang PKP2B sebelumnya. Adapun penawaran WIUPK berlaku selama lima tahun sejak PP berlaku.
Sebelumnya, Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf menilai kebijakan pemerintah memberikan privilese kepada ormas keagamaan untuk mendapat izin tambang batubara sebagai terobosan dan langkah berani. Ia meyakini PBNU bisa menjalankan tanggung jawab tersebut. Salah satu alasannya adalah PBNU memiliki jaringan bisnis yang kuat.
”NU telah siap dengan sumber daya manusia mumpuni, perangkat organisasi lengkap, dan jaringan bisnis yang cukup kuat untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab tersebut. Itu semua akan menjadi saluran efektif untuk mengantarkan manfaat dari sumber daya ekonomi yang oleh pemerintah dimandatkan kepada NU untuk mengelolanya,” tuturnya dalam keterangannya, Senin (3/6/2024).
Menurut pria yang biasa dipanggil Gus Yahya itu, perangkat organisasi NU menjangkau hingga tingkat desa. NU juga memiliki lembaga-lembaga layanan masyarakat di berbagai bidang yang mampu menjangkau masyarakat akar rumput di seluruh Indonesia.
Selain itu, Gus Yahya menambahkan, NU mempersiapkan infrastruktur bisnis untuk mengelola tanggung jawab. PBNU juga menjamin profesionalitas dan akuntabilitas, baik pengelolaan maupun pemanfaatan hasilnya.
Sementara itu, sejumlah ormas keagamaan lain cenderung berhati-hati dalam merespons terbitnya PP No 25 Tahun 2024. Pengurus Pusat Muhammadiyah, misalnya, menyatakan tidak akan tergesa-gesa serta mengukur kemampuan diri jika memang mendapat penawaran izin tambang.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep) Bisman Bhaktiar mengatakan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Minerba, hanya badan usaha milik negara (BUMN) dan badan usaha milik daerah (BUMD) yang mendapat penawaran prioritas IUPK.
Apabila keduanya tak berminat, merujuk aturan itu, baru diberikan kepada swasta yang harus melalui lelang. Atas dasar ketentuan tersebut, munculnya badan usaha ormas keagamaan sebagai pihak yang mendapat penawaran prioritas IUPK, menurut Bisman, patut dipertanyakan.
”Dari aspek formil, (selain BUMN dan BUMD) hanya bisa dapat dengan lelang. Kalau tidak lelang, artinya melanggar undang-undang. Andaikan satu waktu terjadi penyimpangan dan dinyatakan kerugian negara, akan repot nantinya,” tutur Bisman.
Bisman menambahkan, pihak mana pun, termasuk badan usaha ormas, selama ini sebenarnya boleh-boleh saja untuk mengajukan permohonan mendapat IUPK, asalkan memenuhi syarat. Artinya, sebagai swasta serta prosesnya melalui lelang. Ia juga menyangsikan, apakah dengan diberikannya hak istimewa izin tambang kepada ormas keagamaan, masyarakat lantas sejahtera.
”Mestinya (dalam industri pertambangan), fokus memperbaiki tata kelola tambang dan membersihkan tambang dari korupsi. Jangan sampai, keterlibatan ormas keagamaan ini malah menimbulkan korupsi baru, misalnya karena (sejak awal) tak dilakukan lelang dan ada kerugian negara. Malah kasihan ormas, yang sejatinya luhur dan mulia, tetapi bisa terjebak pada perilaku seperti itu,” katanya.
***
Dalam perkembangan terbaru di dunia pertambangan Indonesia, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) telah mengajukan permohonan untuk mendapatkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) di Kalimantan Timur. Permohonan ini sedang diproses oleh Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dan jika disetujui, akan menjadi preseden penting di mana organisasi keagamaan terlibat langsung dalam kegiatan pertambangan. Langkah ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang dampak yang mungkin ditimbulkan, baik secara sosial, ekonomi, maupun lingkungan.
Oligarki Baru dengan Wajah Keagamaan
Pemberian izin tambang kepada PBNU berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024, yang memprioritaskan organisasi kemasyarakatan keagamaan dalam menerima wilayah izin usaha pertambangan eks PKP2B, membuka jalan bagi terbentuknya oligarki baru dengan wajah keagamaan. Kebijakan ini memberi kekuasaan dan privilese kepada ormas keagamaan untuk terlibat dalam bisnis yang biasanya didominasi oleh perusahaan besar dan investor asing.
Namun, langkah ini juga menciptakan kekhawatiran bahwa ormas keagamaan bisa menjadi bagian dari struktur oligarki yang mengendalikan sumber daya alam Indonesia, dengan implikasi serius terhadap keadilan ekonomi dan distribusi kekayaan. Apakah pemberian izin ini akan benar-benar menguntungkan masyarakat luas atau hanya memperkaya segelintir elite yang terhubung dengan ormas tersebut?
Potensi Korupsi dan Konflik Kepentingan
Keterlibatan ormas keagamaan seperti PBNU dalam bisnis tambang juga membuka pintu bagi potensi korupsi dan konflik kepentingan. Dengan privilese yang diberikan oleh pemerintah, ada risiko bahwa proses pemberian izin tambang bisa menjadi kurang transparan dan rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Apakah penunjukan wilayah izin ini melalui mekanisme yang adil dan bersih, atau apakah ada campur tangan dari kepentingan-kepentingan tertentu yang mencari keuntungan pribadi?
Indonesia sudah memiliki sejarah panjang tentang korupsi dalam sektor pertambangan, di mana izin diberikan kepada pihak-pihak yang memiliki koneksi politik atau ekonomi yang kuat. Memasukkan ormas keagamaan ke dalam permainan ini bisa memperburuk situasi dan menambah lapisan kompleksitas dalam pemberantasan korupsi di sektor ini.
Dampak Lingkungan yang Mengkhawatirkan
Dari perspektif lingkungan, pemberian izin tambang kepada PBNU di Kalimantan Timur mengundang kekhawatiran serius. Wilayah yang dimaksud adalah eks lahan PKP2B yang mungkin sudah mengalami kerusakan lingkungan dari operasi sebelumnya. Memulai aktivitas tambang baru di area tersebut berpotensi memperparah kerusakan ekosistem lokal, merusak sumber air, dan mengancam keberlanjutan kehidupan satwa liar dan penduduk setempat.
Pertambangan batu bara di Kalimantan Timur telah lama menjadi isu kontroversial terkait dampak lingkungannya. Banyak operasi tambang di wilayah ini meninggalkan bekas luka permanen di lanskap dan menciptakan masalah jangka panjang bagi penduduk setempat, termasuk polusi air dan udara, serta penurunan kualitas tanah. Keterlibatan PBNU dalam kegiatan ini dapat memperburuk situasi dan menimbulkan paradoks dimana sebuah organisasi keagamaan yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan kelestarian, terlibat dalam penghancuran alam.
Peran Ormas dalam Ekonomi dan Moralitas
Secara lebih luas, keterlibatan ormas keagamaan dalam bisnis tambang memaksa kita untuk merenungkan kembali peran mereka dalam masyarakat. Ormas seperti PBNU memiliki mandat untuk mempromosikan nilai-nilai moral dan kesejahteraan sosial. Masuknya mereka ke dalam bisnis yang kontroversial seperti pertambangan dapat merusak citra mereka dan mengaburkan misi utama mereka. Bisnis tambang, yang sering dikaitkan dengan eksploitasi dan ketidakadilan, tampaknya bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan yang mereka anut.
Selain itu, masuknya PBNU ke dalam sektor ini bisa mengarahkan organisasi ke arah yang lebih pragmatis dan kapitalis, mengorbankan prinsip-prinsip mereka demi keuntungan ekonomi. Hal ini bisa menimbulkan ketegangan di antara anggota dan pendukung mereka yang mungkin merasa bahwa tujuan spiritual dan sosial mereka telah dikompromikan.
Menimbang Masa Depan
Pemberian izin tambang kepada PBNU menandai perubahan signifikan dalam dinamika ekonomi dan sosial di Indonesia. Sebagai negara yang berusaha untuk menyeimbangkan antara pembangunan ekonomi dan kelestarian lingkungan, Indonesia harus berhati-hati dalam bagaimana kebijakan ini diimplementasikan. Adalah penting untuk memastikan bahwa keterlibatan ormas keagamaan dalam bisnis tambang dilakukan dengan transparansi, akuntabilitas, dan komitmen terhadap prinsip-prinsip keberlanjutan.
Indonesia harus mempertimbangkan dampak jangka panjang dari keputusan ini dan berupaya mencegah terjadinya oligarki baru yang menyamar sebagai kegiatan keagamaan. Dengan mempertimbangkan semua risiko yang ada, kita perlu bertanya: Apakah ini benar-benar langkah terbaik untuk Indonesia dan rakyatnya, ataukah kita sedang membuka pintu bagi masalah yang lebih besar di masa depan?
Mari kita pikirkan dengan hati-hati sebelum kita mengambil langkah yang bisa mengubah wajah ekonomi dan moral bangsa kita. Ke mana Nahdliyin yang katanya puluhan juta? Apakah akan diam dengan kebobrokan para elite mereka?
Salman Rushdie, Penulis dan pemerhati sosial-politik.