Khilafahisme, Terorisme, dan Politisi Anti-Islam di Perancis

terorisme prancis

Khilafah.id – Putaran pertama Pemilihan Presiden (Pilpres) Prancis 2022 berlangsung pada Minggu 10 April 2022, dengan petahana Emmanuel Macron menghadapi 11 kandidat lainnya calon presiden lainnya. Dalam pemilihan presiden tahun ini,  Marine Le Pen dari partai sayap kanan National Rally, akan menjadi pesaing terberat Macron.

Pada pemilu putaran pertama 10 April lalu, Macron hanya unggul sebesar 4,7 persen dari Le Pen. Salah satu hal yang dapat dilihat dari masa kampanye pemilihan presiden Prancis tahun ini adalah penggunaan retorika anti-Islam baik di ruang publik atau media sosial. Pada Pilpres ini, komunitas Muslim Prancis dihadapkan dengan pilihan yang sulit dimana kandidat dengan potensi terpilih presiden yaitu Macron maupun Le Pen sama-sama pernah menunjukan sikap yang tidak baik terhadap Islam.

Sebagai tokoh dengan spektrum politik sayap kanan, Le Pen terkenal dengan sederet pernyataan yang sangat diskriminatif terhadap kelompok Islam di Prancis. Beberapa waktu lalu ia mengatakan berencana untuk melarang penggunaan hijab di Prancis. Hal ini dilakukan sebagai bentuk perlawanan atas ekspansi Islam. Le Pen juga mengatakan bahwa Prancis telah menjadi “universitas bagi para jihadis” ketika pilpres 2017 lalu. Oleh karena itu, ia juga berjanji untuk mengurangi masuknya imigran terutama dari timur tengah yang selama ini mencoba membawa dan memaksakan nilai fundamentalisme Islam ke Prancis.

Keberadaan politisi atau pemimpin anti Islam di Prancis telah memunculkan masalah baru yakni terorisme. Di tahun 2020 lalu, Emmanuel Macron pernah menyatakan karikatur Nabi Muhammad yang dibuat oleh Charlie Hebdo merupakan bagian dari freedom of speech. Hal ini membuat pemerintah Prancis tidak memberikan hukuman kepada pembuat karikatur tersebut. Respons yang diberikan oleh Macron telah memicu peristiwa teror yang terjadi pada tanggal 29 November 2020 di Gereja Basilika Notre-Dame. Serangan teroris tersebut mengakibatkan 3 orang menjadi korban penikaman.

Sikap anti Islam yang dilakukan oleh para politisi di Prancis mengakibatkan kelompok minoritas Islam semakin mengalami eksklusi sosial. Komunitas Islam akan merasa dirugikan dan ditindas sehingga membuat mereka merasa frustasi terhadap sistem politik Prancis yang menjunjung tinggi sekularisme dan freedom of speech sebagai pembenaran melakukan diskriminasi agama.

Kemarahan atas diskriminasi yang dialami oleh komunitas Islam di Prancis akan membuat mereka lebih mudah terpengaruh dengan paham radikal yang tersebar di internet. Aksi teror yang didorong oleh kemarahan ini akan sulit dideteksi karena dapat terjadi tanpa menunggu arahan dari pemimpin pusat. Singkatnya fenomena terorisme yang terjadi di Prancis merupakan bentuk dari lone wolf terrorism.

Muhammad Mustofa, kriminolog dari Universitas Indonesia menganggap diskriminasi dan ketidakadilan yang dialami oleh kelompok minoritas dirasa tidak dapat diperjuangkan melalui tata cara demokrasi yang sedang berjalan. Kelompok minoritas ini kemudian membentuk kelompok militan yang melandaskan perjuangannya berdasarkan nilai dan keyakinan mereka.

Komunitas Muslim di Prancis merasa nilai sekularisme sangatlah bertentangan dengan kepercayaan mereka. Nilai yang dianut oleh masyarakat di Prancis dianggap memberikan pembenaran atas penistaan terhadap kelompok identitas tertentu. Benturan nilai antara Islam dan sekularisme di Prancis ini menimbulkan rasa frustasi di kalangan umat Islam. Rasa frustasi ini kemudian dilampiaskan dengan melakukan serangkaian aksi teror.

Chems-eddine Hafiz, rektor Masjid Agung Paris menunjukan sikap kekhawatirannya atas kandidat presiden Prancis tahun ini. Menurutnya Isu mengenai keberadaan komunitas Muslim di Prancis Prancis seringkali diangkat dalam pemilihan presiden, namun para kandidat presiden tahun ini misalnya Marine Le Pen, secara terang-terangan menyatakan penolakannya terhadap Islam. Menurutnya fenomena Islamophobia baik di tingkat pemerintah maupun masyarakat akan mendorong munculnya serangan dari kelompok teroris.

Alih-alih dijadikan bahan evaluasi, Serangan teroris yang terjadi di Prancis memicu munculnya kebijakan yang bersifat diskriminatif terhadap komunitas Muslim. Misalnya, penerapan undang-undang separatisme setelah kasus pembunuhan yang dilakukan oleh pengungsi Muslim asal Rusia terhadap seorang guru, Samuel Paty.

Kasus ini bermula setelah korban menunjukkan kepada murid-muridnya gambar kartun Charlie Hebdo yang menampilkan Nabi Muhammad SAW. Pasca munculnya kasus ini, Emmanuel Macron menerapkan undang-undang separatisme yang berakibat pada ditutupnya puluhan masjid termasuk organisasi Collective Against Islamophobia in France (CCIF) serta beberapa badan amal Muslim.

Sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai liberalisme, Prancis seharusnya menjamin semua warganya negara terlepas dari asal, ras, atau agamanya mendapatkan perlakukan yang setara. hal ini tercantum dalam Konstitusi 1958. Akan tetapi, keberadaan politisi anti-Islam serta kebijakannya yang bersikap diskriminatif menunjukan fakta bahwa keberagaman pada masyarakat di Prancis hanyalah sekedar pengakuan. Keberagaman baik dari segi agama maupun ras di negara Prancis seharusnya disertai dengan pemberian ruang kebebasan dan produk hukum yang dapat melindungi kelompok minoritas.

Penjaminan kebebasan beragama seharusnya dapat menjadi solusi untuk mencegah rasa penindasan yang dialami kelompok minoritas Muslim di Prancis. Faktor struktural seperti kebijakan pemerintah dapat menjadi pendorong dominan dalam keterlibatan seseorang pada kelompok terorisme. Pandangan bahwa Islam sebagai faktor utama dalam mendorong timbulnya kelompok terorisme terorisme mendorong terciptanya kebijakan yang bersifat diskriminatif.

Fauzan Dewanda, Mahasiswa Kriminologi UI 2019.

Redaksi Khilafah.ID

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Menuju Idul Fitri; Menggapai Kemenangan Melawan Radikalisme dan Terorisme

Sab Apr 30 , 2022
Khilafah.id – Kita berada di ujung bulan Ramadhan. Detik-detik Hari Raya Idul Fitri sudah dimulai. Setelah sebulan melakukan ibadah puasa, dengan amal-amal baik yang pahalanya dilipatgandakan, umat Islam mendapat anugerah untuk kembali fithri, kembali suci, dari segala dosa dan kotoran-kotoran maksiat. Hadis Nabi, bahwa siapa pun yang berpuasa dan beribadah […]
idul fitri