Kiai Afif: Indonesia Bukan Negara Islam, Monarki, dan Politik Islam

Kiai Afif

Khilafah.id – Jauh sebelum Indonesia merdeka, ulama-ulama NU telah berdiskusi panjang dan mendalam menyangkut status negara ini dari sudut pandang agama. Melalui forum Muktamar NU ke-11 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, tahun 1936, lantas diputuskan bahwa Indonesia adalah darul-islam, bukan daulah islamiyah. Guna memahami kedua istilah tersebut, silakan disimak penjelasan Kiai Afif berikut ini.

Menurut Kiai Afif, istilah darul-islam dan daulah islamiyah harus dibedakan karena memang tidak sama. Adapun keputusan Muktamar NU di Banjarmasin tersebut terang  menyebutkan Indonesia sebagai darul-islam, bukan darus-salam. Darul-islam sendiri tidak berarti “negara Islam atau daulah islamiyah“, tetapi artinya ialah “wilayah Islam”.

Manakala daulah islamiyah (negara Islam) berbasiskan pada eksistensi sebuah negara (state), justru darul-islam basisnya ialah wilayah (territory). Jelasnya, darul-islam yaitu sebuah wilayah yang penduduk Islamnya memiliki kebebasan dalam melaksanakan ajaran Islam.

Sedangkan yang dimaksud dengan daulah islamiyah yaitu negara Islam yang telah memenuhi unsur-unsur sebagai sebuah negara; tidak hanya berupa wilayah, namun juga pemimpin, rakyat, perundangan-undangan, dan lain sebagainya.

Selain itu, sosok Rais Syuriah PBNU yang baru-baru ini ditabalkan menjadi Ketua Dewan Pimpinan MUI Pusat itu juga melengkapi penjelasannya dengan menjabarkan dua bahasan krusial lainnya yang terkait.

Bahasan pertama mengenai sistem monarki yang dinyatakan tidak sesuai dengan tuntunan Islam. Lalu, yang kedua tentang prinsip yang menjadi dasar politik (asasus-siyasah) dalam Islam.

Kiai Afif mengawali bahasan pertama tersebut dengan menyitir sejarah suksesi kepemimpinan dari Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik (w. 717 M) kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz (720 M). Bahwa sebelum meninggal, Raja Sulaiman menulis surat wasiat yang isinya mengamanatkan untuk mengangkat Umar bin Abdul Aziz sebagai penggantinya Untuk diketahui, Umar bin Abdul Aziz bukanlah termasuk trah Bani Umayyah.

Namun, karena rekam jejak kepemimpinannya selama menjabat gubernur, membuat khalifah ketujuh Daulah Umayyah itu menjatuhkan pilihan pada sosoknya Umar bin Abdul Aziz.

Singkat cerita, setelah Sang Raja meninggal dan surat wasiatnya dibacakan, maka Umar bin Abdul Aziz tidak langsung mengiyakannya. Ia kemudian berpidato kepada khalayak umat Islam kala itu. Petikan pidatonya berbunyi: “innani wallahi maa-stu’mirtu fi hadza (demi Allah, sesungguhnya penyerahan jabatan khalifah ini tanpa terlebih dahulu mengajak saya bermusyawarah)”.

Dengan ungkapan lain, penunjukan Umar bin Abdul Aziz dalam wasiat tersebut dilakukan secara sepihak, tanpa sepengetahuannya dan bukan pula atas permintaannya mengajukan diri.

Oleh karena itu, lanjut Umar bin Abdul Aziz, “fa-‘alaikum bil-khiyar (kalian boleh memilih apakah tetap menghendaki saya sebagai khalifah atau menginginkan orang lain)”. Hal ini, dawuh Kiai Afif, menunjukkan bahwa sebetulnya kepemimpinan tidak boleh diwariskan.

Bahasan selanjutnya perihal asasus-siyasah. Kiai Afif menjelaskan, tentang hal ini para ulama dahulu berbeda pendapat. Pendapat pertama berpandangan bahwa asasus-siyasah ialah wujudul-muwafaqah.

Artinya, pada prinsipnya politik Islam harus mempunyai acuan syariat. Sementara itu, pendapat kedua berpandangan sebaliknya, asasus-siyasah ialah ‘adamul-mukhalafah. Artinya, politik Islam tidak perlu mempunyai acuan syariat, yang penting tidak bertentangan dengan teks syariat (Alquran dan hadis).

Dengan demikian, kiai yang memperoleh honoris causa (gelar doktor kehormatan) dalam bidang fiqh-ushul fiqh itu, menyimpulkan bahwa segala aktivitas yang membawa kemaslahatan atau kesejahteraan bagi umat, serta tidak bertentangan dengan syariat Islam, itulah politik Islam.

Akhirnya, atas berbagai penjelasan Kiai Afif di atas dapat dipahami bahwa Indonesia bukan negara Islam. Kendati demikian, sistem atau bentuk pemerintahan Indonesia saat ini setidaknya telah mengakomodasi kemaslahataan kita umat Islam, serta sesuai dengan prinsip politik Islam.

Ahmad Rijalul Fikri, Mahasiswa S2 di Pascasarjana Universitas Ibrahimy Situbondo Jawa Timur dan Mahasantri Ma’had ‘Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo.

Redaksi Khilafah.ID

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Meneladani Ijtihad Politik Rasulullah di Era Demokrasi 4.0

Kam Okt 6 , 2022
Khilafah.id – Ada dua momen penting dalam sejarah hidup Nabi Muhammad. Yakni momen kelahiran dan momen ketika Nabi Muhammad hijrah dari Mekkah ke Yatsrib. Keduanya memiliki makna tersendiri di hati umat Islam. Hari kelahiran Nabi Muhammad (maulid) menjadi penanda datangnya sosok pencerah yang membawa umat dari era jahiliyyah (primitif) menuju […]
ijtihad politik