Kontestasi Politik dan Implikasinya Terhadap Tata Negara

kontestasi politik

Khilafah.id – Tampaknya kita sudah tidak asing dengan fenomena kontestasi politik, sebab hal itu telah menjadi hidangan setiap lima tahun dalam ajang pergantian pemegang jabatan kepemimpinan.

Tentunya ada suatu hal yang tersimpan dalam ingatan, terkait pemilu yang terjadi pada saat itu, dimulai dengan persaingan ketat antara pasangan calon nomor satu pasangan calon nomor dua pada tahun 2014, juga persaingan pasangan calon nomor satu pasangan calon nomor dua pada tahun 2019.

Hal yang menarik adalah, tokoh utama masih diperankan oleh orang yang sama. serta polemik-polemik yang terjadi pada saat itu, baik menjelang maupun pasca pemilu, menjelang pemilu 2014 misalnya, dimulai dengan anggapan Yusril Ihza Mahendra bahwa putusan MK tentang pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum presiden adalah inkonstitusional, juga ada temuan 10,4 juta data pemilih yang di duga fiktif, dikarenakan tidak memiliki nomor induk kependudukan.

Begitu pun pada pemilu 2019 juga ditemukan berbagai polemik. Mulai dari ditemukannya cecaran E-ktp di berbagai wilayah yang mengundang asumsi dari banyak pihak tentang kemungkinan adanya kecurangan dalam pemilihan yang diselenggarakan, juga ditemukan data orang yang sudah meninggal masih ter verifikasi sebagai data pemilih.

Tentunya hal ini menimbulkan trauma krisis kepercayaan masyarakat kepada pihak-pihak terkait yang akan menimbulkan ke waswasan pada pemilu mendatang. Kontestasi politik yang akan diselenggarakan pada tahun 2024 mendatang tampaknya agak terasa sedikit berbeda, dia menjadi lebih menarik tetapi juga mencekik.

Pasalnya pada tahun 2024 mendatang seharusnya akan menjadi pemilu serentak atau dengan istilah lain tahun itu akan menjadi pesta demokrasi, beberapa nama yang cukup terkenal juga sudah mulai diisukan menjadi kandidat yang kuat dalam pemilu 2024 nanti.

Tentunya dengan ajang yang begitu megah, pasti membutuhkan persiapan yang megah pula, namun kenyataannya di sisi lain keadaan negara kondisi keuangan negara saat ini sedang dalam kondisi yang amat memprihatinkan, bahkan pada 29 April 2021 silam saja menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan bahwa kita telah menderita kerugian sebanyak 1.356 triliun akibat pandemi yang terjadi, statusnya entah kapan menjadi endemi.

Namun kata “Mencekik” yang penulis maksud sebelumnya bukan merujuk pada keadaan kondisi negara pada saat ini, melainkan merujuk pada kemungkinan terjadinya pelanggaran konstitusi menjelang pemilu. Pada saat ini mulai bermunculan isu-isu yang menjadi polemik menjelang di adakannya pemilu serentak pada tahun 2024 nanti, tentunya polemik ini memiliki akibat ter cederainya konstitusi demokrasi.

Dimulai dari suara-suara yang menginginkan ditundanya pemilu selama dua tahun ke depan, permintaan ini dilontarkan oleh beberapa partai politik dengan dalih berpendapat merupakan bagian dari demokrasi, padahal demokrasi sendiri juga memiliki tujuan membatasi kekuasaan.

Partai politik yang bersangkutan adalah PKB mendapatkan dukungan dari partai Golkar PAN. Di sisi lain juga telah muncul keinginan dari berbagai pihak agar periode kepemimpinan presiden diubah dari 2 periode menjadi 3 periode. Bukankah konstitusi mengatur masa jabatan presiden hanya 2 periode? itu artinya keinginan tersebut memiliki akibat terabaikannya konstitusi dan demokrasi.

Beberapa waktu yang lalu seorang Luhut mengklaim bahwasanya permintaan 3 periode berasal dari suara rakyat, dengan dalih bahwasanya ditangan mereka sudah ada Big data yang memuat 120 juta suara dari media sosial menginginkan hal itu.

Tentunya hal ini menimbulkan pertanyaan, mengapa bisa dilakukan survei sementara ada konstitusi yang dilanggar? juga ada beberapa fakta yang membuat kita mempertanyakan kevalidan survei tersebut, angka 120 juta hampir mencapai setengah dari penduduk Indonesia yang berjumlah 273 juta jiwa sebagaimana yang disampaikan oleh Kementerian dalam negeri.

kita bisa membaginya menjadi tiga golongan; tua, remaja, anak kecil. dari ketiga golongan tersebut memiliki tiga fakta, yang pertama, tidak semuanya memiliki gadget, kedua, tidak semuanya memahami cara bermain sosial media, yang ketiga adalah, tidak adanya larangan satu orang hanya boleh memiliki satu akun media sosial, sehingga memungkinkan untuk satu orang memiliki banyak akun media sosial. Sehingga keinginan tersebut menimbulkan pertanyaan, apakah keinginan itu benar-benar untuk masyarakat atau bukan, sekaligus juga dapat mencederai konstitusi dan demokrasi Indonesia.

Di sisi lain juga telah bermunculan baliho-baliho di berbagai daerah diantara-Nya, Lampung selatan, Jambi, Pekan baru, Riau, Palembang, Sumatra selatan yang bertuliskan “2024 Bersama Jokowi” sungguh ironis bagaimana bisa pelanggaran terhadap konstitusi di pampang jelas di depan umum. Tentunya ini juga memiliki implikasi tercederainya konstitusi, demokrasi, dan juga menimbulkan pertanyaan, bagaimana sebenarnya kedudukan konstitusi negara kita pada saat ini.

Ikhwanul Ihza, Mahasiswa semester 2 di UIN Syarif hidayatullah, Anggota organisasi primordial sadajakarta kota Subulussalam Aceh.

Redaksi Khilafah.ID

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Rezim Khilafah Taliban dan Pendisiplinan Tubuh Perempuan

Sel Mei 17 , 2022
Khilafah.id – Di dalam sistem pemerintahan otoriter, perempuan selalu menjadi pihak paling dirugikan. Termasuk dalam hal ini adalah rezim Taliban di Afghanistan. Sejak berkuasa medio 2021 kemarin saja, mereka sudah memberlakukan banyak pembatasan terhadap perempuan. Teranyar, laporan bbc.com mencatat pemerintah Taliban melarang perempuan bekerja di pemerintahan, melarang anak-anak perempuan menempuh […]
taliban