Khilafah.id – Intoleransi dan diskriminasi terjadi kembali terhadap kelompok agama minoritas di Indonesia. Demo penolakan terhadap pembangunan sebuah sekolah Kristen yang dilakukan oleh kelompok ekstremis Islam yang mengaku sebagai Forum Masyarakat Muslim Parepare (FM2P) pada tanggal 20 September lalu menjadi sebuah penanda masalah intoleransi keagamaan yang masih belum tuntas di Indonesia. Artikel ini akan menunjukkan penolakan kaum intoleran ini berdiri di atas ketakutan yang irasional, yang hingga hari ini terus menjadi ancaman bagi dasar kebangsaan kita.
Fobia Tanpa Rasio
Sebuah penelitian yang berjudul “Christianophobia: A Threat to Indonesian Pluralism and Religious Freedom”, menjelaskan Kristenofobia sebagai sebuah fenomena ketakutan yang irasional (fobia) terhadap kekristenan. Sebagai contohnya, tentu kita dapat memerhatikan bagaimana berita-berita tentang penolakan pembangunan gereja, pembubaran ibadah, dan penolakan fasilitas dan kegiatan lain yang berlabel Kristen terus bertebaran di berita dan linimasa media sosial kita. Tidak hanya dicap dengan label seperti “non-islam” atau “kafir,” bahkan nama “Kristen” sendiri sudah disebutkan dengan konotasi yang negatif. Narasi seperti inilah yang dapat kita sebut sebagai Kristenofobia.
Tidak sekadar ketakutan, hal yang penting untuk dibedakan di sini adalah bahwa fobia merupakan sebuah bentuk ketakutan yang tidak rasional. Para peneliti dalam artikel tersebut memerhatikan adanya paling sedikit tiga bentuk narasi Kristenofobia, yaitu ketakutan pada kristenisasi, ketakutan pada perkembangan umat Kristen, dan ancaman bagi umat Muslim. Narasi-narasi ketakutan ini seringkali digunakan tanpa punya dasar rasionalitas yang kuat.
Artikel ini hanya akan membahas sedikit saja argumen-argumen yang digunakan oleh FM2P untuk menolak tersebut untuk menunjukkan irasionalitas yang muncul di sana, akan tetapi pembahasan artikel ini tidak akan berfokus pada argumen-argumen tersebut, melainkan pada logika Kristenofobia yang mendasarinya.
Narasi yang digunakan oleh kaum intoleran FM2P tidak memiliki basis pada kenyataan, melainkan hanya berdasar pada ketakutan yang irasional. Pertama, sekolah yang dibangun tersebut dituduh sebagai sarana kristenisasi. Padahal penyediaan sekolah tersebut hanya ditujukan untuk menyediakan fasilitas pendidikan yang mengajarkan semua ilmu. Kedua, pembangunan tersebut dikatakan tidak dibutuhkan oleh masyarakat di sana. Padahal tentu pembangunan sebuah proyek relatif besar seperti sekolah itu telah mempertimbangkan aspek-aspek kebutuhan masyarakat di sana yang perlu untuk dipenuhi walaupun jumlahnya sedikit.
Hal ini menuntun pada poin yang ketiga, yaitu narasi FM2P bahwa penduduk di Parepare adalah 100% Islam. Klaim-klaim seperti ini merupakan klaim mayoritarianisme yang dengan sengaja mengabaikan keragaman yang sudah pasti ada dalam komposisi sebuah masyarakat. Menurut sensus Badan Pusat Statistik Parepare tahun 2023 lalu, ada lebih dari lima ribu penduduk yang beragama Kristen Protestan dan lebih dari dua ribu yang beragama Kristen Katolik, dengan ratusan juga penduduk yang beragama Hindu, Buddha, dan agama lainnya. Dari sini kita dapat melihat irasionalitas argumen-argumen kaum intoleran yang muncul dari Kristenofobia.
Ancaman Hidup Kebangsaan
Narasi yang berdasar pada Kristenofobia ini akhirnya menjadi sebuah ancaman bagi pluralisme dan kebebasan beragama yang dijamin oleh dasar negara dan konstitusi kita. Narasi seperti itu digunakan oleh kaum intoleran untuk berusaha mengelabui masyarakat kita dengan fobia-fobia yang dimanipulasi, di mana ketakutan irasional mereka jadikan alat pengumpul kekuasaan. Mereka yang mengumpulkan kekuasan itu jelas memiliki pandangan yang bercabang dari dasar hidup kebangsaan kita.
Dasar hidup kebangsaan kita adalah Pancasila. Semboyan kita adalah Bhinneka Tunggal Ika. Undang-undang menjadi basis hidup kenegaraan kita sebagai negara hukum. Ragamnya pengalaman keagamaan masyarakat Indonesia diakomodasi oleh sebuah pengakuan bersama akan ketuhanan yang maha esa. Kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan menjadi prinsip dasar hidup kenegaraan kita yang sudah selama ratusan tahun hidup dalam penerimaan terhadap keberagaman.
Pengakuan terhadap keberagaman ini bahkan telah menjadi semboyan dan alat kita yang paling kuat dalam melawan penjajahan yang sejak dulu hendak mengabaikan keberagaman itu. Kebebasan kita dalam beragama sudah dijamin oleh dasar konstitusional kita yaitu Undang-Undang Dasar. Indonesia dibentuk oleh keberagaman dan hidup karenanya.
Dengan demikian, kita dapat melihat fenomena Kristenofobia yang irasional itu sebenarnya berkebalikan dan menjadi ancaman bagi dasar hidup kenegaraan kita dalam berbagai tingkatan. Konsep ketuhanan yang dibawa oleh logika Kristenofobia tidak berpegang pada pengakuan kita terhadap sebuah konsep ketuhanan yang kemaha esaannya mampu melampaui perbedaan doktrinal.
Kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan akhirnya mereka jadikan korban ketika irasionalitas Kristenofobia yang mereka bawa digunakan untuk menggerogoti hak masyarakat untuk hidup tanpa diskriminasi atas dasar identitas agama. Semboyan kita yang menjunjung keberagaman diabaikan dengan klaim irasional mereka yang mengabaikan ribuan umat Kristen dan ratusan umat beragama minoritas lainnya yang hidup di Parepare.
Akhirnya irasionalitas Kristenofobia itu menginjak-injak hak konstitusional umat beragama minoritas dengan mengabaikan keberadaan mereka dan hak mereka untuk mendapatkan akses terhadap fasilitas negara yang setara.