Long Life Education: Pedoman untuk Tidak Terjerat Radikalisme

Long Life Education

Khilafah.id – Cerita tentang masa-masa hijrah dan pengalaman spiritualitas memang menarik. Saya misalnya. Ketika menempuh pendidikan Sekolah Menengah Atas, saya masih ingat bahwa kesukaan terhadap Felix Siauw dengan judul bukunya, “Udah Putusin Aja!” mampu membuat saya terkesima sehingga begitu membenci sekali terhadap orang yang pacaran.

Tidak hanya itu, memulai memiliki akun instagram, saya mengikuti seminar-seminar anti pacaran, seminar Indonesia yang seperti negara bebek, dan memiliki mindset bahwa saya ini, setiap waktu melakukan dosa. Mengapa demikian? Sebab bagaimanapun, ketika saya melakukan seribu kebaikan, tetapi masih tinggal di sebuah negara yang tidak menganut hukum Islam, maka saya adalah orang kafir.

Belum selesai dengan itu, saya juga memiliki pengalaman membaca buletin kaffah yang setiap Jumat tersebar di berbagai masjid. saya merasa ketakutan, ketika membaca kalimat, “Jika anda tidak menyebar tulisan itu, saya akan ke neraka. Namun apabila anda sebar, akan masuk surga”.

Saya gemetar ketakutan setengah mati sampai tidak bisa tidur karena buletin itu saya buang di tengah jalan. Sampai pada tahap ini, kira-kira hampir sama dengan postingan yang selalu menjanjikan surga kepada followersnya. Makanya kenapa saya selalu bertanya-tanya, mengapa ya akun-akun instagram yang memiliki value cinta damai, Islam rahmah, tidak pernah menjual surga kepada followersnya? Sedangkan akun-akun Instagram sebelah yang menampilkan spiritualitas yang begitu tinggi tidak pernah menjual surga dan negara sebagai jaminan dalam setiap hal yang dilakukan.

Misalkan ketika menggunakan kalimat “Like postingan ini maka anda akan masuk surga”. Sekedar kalimat semacam itu saja, jarang kita temukan di akun-akun media sosial yang membawa nilai menyebarkan ajaran Islam yang cinta damai, atau kaum-kaum moderat.

Cerita perjalanan kehidupan di atas, jika dibandingkan pada hari ini, tentu adalah suatu hal yang luar biasa. Sebab di balik dari pengalaman tersebut, saya dapat membandingkan bagaimana pola relasi sosial yang saya miliki untuk menjalani proses kehidupan yang bisa saleh secara ritual dan saleh secara sosial.

Lain dari pada kisah di atas, salah satu teman saya memiliki pengalaman yang tidak kalah penting sebagai catatan perjalanan hidupnya. Di masa SMA, ia justru adalah orang yang menentang konser Lady Gaga. Aksi tersebut digalakkan oleh Abu Baasyir dan kelompok yang berasal dari pondok pesantren. Ia merupakan orang yang menolak keras kehadiran Pancasila, NKRI yang kafir, sehingga selalu merasa dirinya tidak berharga lantaran hidup di Indonesia yang kafir.

Ketika saya bertanya perasaan ketika membandingkan dirinya di masa silam dengan hari ini. Justru baginya pengalaman itu adalah catatan luar biasa sepanjang hidupnya. Sebab ketika hari ini melihat banyaknya euforia atas kesalehan yang ditampilkan, kehausan spiritual yang semakin tampak di media sosial, dia sudah melewati fase tersebut. Dia sudah mengalami gejolak spiritualitas, merasa saleh, dan merasa orang lain adalah kafir ketika memiliki perbedaan pemahaman dengan dirinya.

Maksud saya adalah, proses perjalanan spiritualitas seseorang berbeda. Yang paling penting adalah, bagaimana proses tersebut tidak selesai. Akan terus menerus bertemu dengan orang yang memiliki latar belakang pemahaman agama berbeda, sehingga akan berpengaruh terhadap pola pikir dan perilaku seseorang.

Long Life Education, Mengapa Penting?

Kasus di atas adalah contoh bahwa, kehidupan adalah proses pembelajaran yang tidak berhenti. Seseorang yang belajar, bertemu dengan sosok A, kemudian akan seperti sosok A. Bertemu dengan guru yang lain, akan menjelma seperti sosok guru lain tersebut. Jika hanya terpaku pada satu pemahaman, satu keyakinan, akan berdampak terhadap fanatisme buta.

Kalau kita merefleksikan diri dan membandingkan diri kita hari ini dengan 4 tahun silam, tentu akan merasakan perbedaan luar biasa dalam kehidupan. Perbedaan tersebut barangkali bisa dilihat dari perbedaan cara pandang yang lebih dewasa, hingga cara beragama yang berbeda dari pada tahun sebelumnya. proses ini dipengaruhi oleh bacaan, referensi keberagamaan, hingga sosok yang menjadi panutan dalam meningkatkan spiritualitas.

Inilah yang saya sebut long life education. Pendidikan seumur hidup, yang disebut dengan Life Long Education adalah pendidikan yang menekankan bahwa proses pendidikan berlangsung terus menerus sejak seseorang dilahirkan hingga meninggal dunia, baik dilaksanakan di jalur pendidikan formal, non formal maupun informal.

Memahami bahwa pendidikan adalah seumur hidup, membantu kita untuk terbuka dan terus belajar kepada orang lain. Memahami keberagamaan dari sudut pandang, sehingga tidak mudah terprovokasi oleh suatu kelompok atau tidak akan terjerat dalam fanatisme buta. Long life education bisa menjadi pedoman kita untuk tidak terjerat dalam radikalisme. Bahkan kalau semisal hari ini kita berada dalam circle tersebut, dengan menjadikan long life education sebagai prinsip, maka kita akan terus belajar dalam segala aspek kehidupan dan memaknai agama dari segala aspek.

Muallifah, Alumni UGM Yogyakarta.

Redaksi Khilafah.ID

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Haidar Bagir: Gen Z Membutuhkan Agama yang Lebih Inklusif

Kam Feb 23 , 2023
Khilafah.id – Cendekiawan muslim Indonesia, Dr. Haidar Bagir, menyampaikan bahwa Generasi Z (Gen Z) membutuhkan agama yang lebih inklusif. Hal itu ia sampaikan saat menjadi pembicara dalam seminar yang bertajuk “Pengalaman Religius dan Tantangan Zaman” yang diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Sadra Jakarta pada Selasa (21/2). Seminar yang […]
Gen Z