Meluruskan Ideologi Kelompok Jihadis Khilafah

Jihadis

Khilafah.id – Salah satu permasalahan yang belakangan muncul secara masif adalah problematika tentang relasi antara umat Islam dan umat non-Islam. Problematika ini tentu akan melahirkan pertanyaan mendasar yaitu, apakah relasi antarkedua umat ini bersifat damai ataukah justru sebaliknya, permusuhan?

Mayoritas umat Islam memilih opsi pertama yaitu kedamaian karena melihat prinsip Islam yang humanis, penuh kasih sayang dan kedamaian. Ketiga prinsip inilah yang kemudian dipakai untuk memahami Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin.

Di samping itu, karakteristik Indonesia sebagai negara yang plural juga tidak kalah penting untuk dijadikan alasan bahwa opsi kedua bukanlah sesuatu yang layak diterapkan. Kalau pun iya, itu tidak lain sebagai sikap yang memang harus diambil secara terpaksa demi kemaslahatan yang jauh lebih besar.

Selain itu, harus diakui bahwa sampai detik ini tetap ada saja sejumlah kelompok dari umat Islam sendiri yang tampak memilih opsi kedua sebagai jawaban terkait relasi umat Islam dan umat non-Islam. Kelompok ini mempunyai tujuan salah satunya untuk mencapai cita-cita Islam sebagai agama yang ya’lu wa la yu’la ‘alaih, superior di atas agama yang lain.

Sebagian lainnya bahkan lebih ekstrem lagi dengan menempatkan konsep perang ofensif (qital hujumi) di samping perang dalam rangka mempertahankan diri (qital difa’i). Kelompok ini dikenal sebagai kelompok fundamentalis, ekstremis, jihadis dan semacamnya.

Dalam konteks keberagaman di Indonesia, tentu akan menjadi problematis dan destruktif ketika dalam usaha mewujudkan Islam sebagai agama yang superior di atas agama yang lain, perang ofensif (qital hujumi) dijadikan satu-satunya jalan mencapai cita-cita tersebut.

Hal ini tentu kembali mengorek kesadaran kolektif kita bahwa problem kekerasan yang dilatarbelakangi distorsi tafsir tekstual liberal terhadap al-Qur’an dan hadis masih menjadi kendala utama dalam rangka menjaga stabilitas dan kerukunan umat beragama.

Akibat hal di atas, kekerasan fisik seperti bom bunuh diri (jihad fi sabilillah) yang dijadikan sebagai justifikasi klaim kebenaran (truth claim) dan klaim keselamatan (salvation claim), tidak lain menjadi permasalahan yang berangkat dari kesalahan beragama itu sendiri. Kesalahan beragama ini bisa dipastikan disebabkan dengan pembacaan dalil-dalil secara parsial dan sepotong-potong.

Menelisik Kesalahan Beragama Ekstremis

Berbicara qital perspektif Islam yang lebih luas, dalam Al-Qur’an dan Hadis tidak bisa dipungkrii banyak sekali ditemukan dalil-dalil yang mengisyaratkan adanya permusuhan antara umat Islam dan umat non-Islam.

Namun untuk lebih spesifik mengetahui ayat yang kerap dijadikan landasan teologis ektremis, buku karya Abu Isrofiel Al-Ghuroba Manhaj Mereka Yang Terasing layak untuk dijadikan rujukan. Dikatakan layak dirujuk, sebab tidak lain karena menurut penulis sendiri buku ini adalah salah satu buku yang dalam tanda kutip bernuansa “radikal”.

Penulis sendiri agak kaget ketika membaca mukadimahnya saja tertulis: “Saya susun buku ini dengan selalu memohon pertolongan kepada Allah. Sebagian besar dari tulisan ini adalah petikan khutbah-khotbah para mujahid yang bertebaran, sehingga saya berusaha merangkumnya dengan maksud agar pembaca mengetahui bahwa manhaj yang diusung oleh orang yang dilabeli kuffar sebagai teroris adalah manhaj yang benar-benar berasal dari agama ini.” (Abu Isrofiel, Al-Ghuroba: 2)

Lebih lanjut terkait ayat yang dijadikan landasan teologis sebagaimana yang ada dalam buku Al-Ghuroba Manhaj Mereka Yang Terasing adalah QS. At-Taubah ayat 29 berbunyi:

قَاتِلُوا الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَلَا يُحَرِّمُوْنَ مَا حَرَّمَ اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗ وَلَا يَدِيْنُوْنَ دِيْنَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ حَتّٰى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَّدٍ وَّهُمْ صٰغِرُوْنَ

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, tidak mengharamkan (menjauhi) apa yang telah diharamkan (oleh) Allah dan Rasul-Nya, dan tidak mengikuti agama yang hak (Islam), yaitu orang-orang yang telah diberikan Kitab (Yahudi dan Nasrani) hingga mereka membayar jizyah dengan patuh dan mereka tunduk.”

Ayat di atas kerap dijadikan alat untuk melegitimasi aksi-aksi akan tindak kekerasan atau jihad yang kelompok ekstremis lakukan. Namun sebelum itu, mereka juga meyakini bahwa ayat pertama kali turun kepada Nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alaihy wa Sallam terkait qital adalah QS. Al-Hajj/ 22: 39, berbunyi: “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya….”.

Pelaksanaan ayat ini oleh mereka (ekstremis) juga diberikan batasan atau koridor dengan dikaitkan dengan QS. An-Nisa’/04: 90-91, bahwa Allah hanya memerintahkan memerangi orang yang melakukan perang terlebih dahulu, tapi tidak sebaliknya.

Ibnu ‘Asyur dalam kitab tafsirnya At-Tahrir wa at-Tanwir menjelaskan terkait diturunkannya ayat di atas (QS. Al-Hajj/ 22: 39), di mana pada waktu itu kaum musyrikin menyiksa kaum mukminin dengan parah. Mereka lalu datang kepada Baginda Rasul melaporkan kezaliman yang mereka alami dengan memperlihatkan bekas pukulan dan luka. Baginda Rasul kemudian menjawab: “Bersabarlah! Belum ada perintah untuk berperang” (Ibnu ‘Asyur, 1984).

Berbeda dengan mengartikan QS. At-Taubah ayat 29 di atas, menurut mereka (ekstremis) ayat ini mempunyai maksud lain dan merupakan tahapan terakhir yang menandakan fase memerangi kaum musyrikin secara total, baik yang memerangi terlebih dahulu atau tidak, dan menyerang negeri mereka sampai tidak ada lagi fitnah (kesyirikan) hingga semua agama menjadi milik Allah. Artinya, menurut mereka ayat ini tidak mempunyai keterkaitan sama sekali dengan batasan-batasan atau koridor sebagaimana kandungan dalam QS. An-Nisa’/04: 90-91 di atas (Abu Isrofiel, Al-Ghuroba: 78).

Ketika ditelusuri secara mendalam, pemahaman berbeda akan QS. At-Taubah/ 09:39 oleh kelompok ektremis ini ternyata didasarkan terhadap pemikiran para ulama salaf yang menganggap bahwa fase terakhir ini (QS. At-Taubah/ 09:39) menjadi penghapus fase sebelumnya (QS. An-Nisa’/04: 90-91). Salah satu ulama berpaham demikian yang dikutip dan dijadikan landasan oleh mereka (ekstremis) adalah perkataan Ibnul Qayyum: “Peperangan tadinya diharamkan, kemudian diizinkan, kemudian diperintahkan kepada orang yang memarngi terlebih dahulu, kemudian diperintahkan terhadap semua kaum musyrikin.”

Menelisik Konteks dan Maksud Ayat

Tentu dibutuhkan usaha serius untuk menemukan esensi atau makna dari QS. At-Taubah ayat 29, di mana ayat ini merupakan ayat yang kerap dijadikan landasan teologis dan digunakan sebagai alat legitimasi penyerangan terhadap non-Islam hanya karena mereka berbeda keyakinan. Mahmud Syaltut dalam Al-Qur’an wa al-Qital menjelaskan bahwa ayat ini sedang berbicara tentang fakta musuh yang dihadapi oleh umat Islam waktu itu (bayan li al-waqi’), bukan berbicara tentang kriteria musuh.

Dengan demikian, Mahmud Syaltut sebenarnya secara spesifik menjelaskan bahwa musuh Islam kala itu secara faktual adalah ahlul kitab yang tidak mengindahkan larangan-larangan Allah dan Rasulnya, bukan sedang berbicara kriteria bahwa setiap dari ahlul kitab yang tidak mengindahkan larangan Allah dan Rasul adalah musuh yang harus diperangi (Mahmud Syaltut, 1950).

Lebih jelas terkait hal ini, Ibnu ‘Asyur mengemukakan konteks ayat tersebut adalah pembicaraan lain (isti’naf ibtida’i) setelah usai membicarakan kafir Makkah dan Arab secara umum. Pembicaraan ini mengisyaratkan bahwa sekarang ini (dalam arti kala itu) musuh umat Islam adalah ahlul kitab, di mana mereka bersama musyrik Arab awalnya bersikap damai dengan umat Islam, akan tetapi berbeda ketika Islam mulai berkembang mereka kemudian memusuhinya sedemikian rupa.

Sebagai contoh historis di atas, seperti kisah Quraydhah dan an-Nadhir yang membantu al-Ahzab memerangi Madinah dalam peristiwa Khandaq. Termasuk dalam kelompok ahlul kitab ini adalah Arab Kristen yang berada di garis perbatasan antara Arab dan Kristen Romawi di Syam kala itu. Mereka adalah para raja Ghassanid yang menjadi kepanjangan tangan Kristen Romawi dalam upaya memusuhi Islam (Ibnu ‘Asyur, 1984).

Berdasarkan penjelasan di atas jelaslah bahwa ayat QS. At-Taubah ayat 29 tidak mempunyai maksud untuk memerangi ahlul kitab karena mereka berbeda keyakinan, akan tetapi karena mereka berstatus sebagai kepanjangan tangan Kristen Romawi yang tidak bersahabat dengan Arab. Maka dengan ini adalah merupakan keniscayaan setelah merasa aman dari musyrik Arab umat Islam mengatur siasat untuk menghalau Arab Kristen di perbatasan kala itu.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwasanya untuk mensukseskan cita-cita Islam tanpa bertentangan dengan prinsip moral yang berlaku di masyarakat, dibutuhkan kerja sama dan saling pengertian satu sama lain. Terkhusus, prinsip dasar ini mempunyai keterkaitan dengan sejauh mana tindakan tercela berupa memaksakan ajaran agama yang sifatnya sementara seperti perang ofensif, dipaksakan dengan dipahami secara parsial dan kehendak diri tanpa disesuaikan dengan konteks waktu dan latar sosialnya.

Atas dasar inilah kemudian, pembenaran ekstremis dengan menjadikan QS. At-Taubah ayat 29 sebagai landasan teologis untuk melakukan tindak kekerasan merupakan suatu hal yang fatal. Sebab di samping al-Qur’an tidak bisa dipahami secara sepotong-potong, pembacaan terhadap sejarah dan sabab nuzul jauh lebih penting karena wahyu dan latar sosialnya seringkali merupakan rajutan yang saling berkelindan.

M. Faidh Fasyani, Mahasiswa Ilmu Alquran dan Tafsir STAI Al-Anwar Sarang Rembang.

Redaksi Khilafah.ID

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Tiga Tips Memilih Pesantren yang Steril Radikalisme

Rab Jul 12 , 2023
Khilafah.id – Kontroversi Al Zaytun yang dikaitkan dengan NII mengagetkan kita semua. Al Zaytun konon merupakan pesantren terbesar di Asia Tenggara. Lengkap dengan bangunan megah dan fasilitas pendukung lainnya. Fenomena ini menyadarkan pentingnya orangtua dalam memilih lembaga pendidikan khususnya pesantren bagi putra-putrinya. Animo umat Islam mengirim anaknya ke pondok pesantren […]
Pesantren