Membaca Arus Radikalisme dan Khilafahisme di Tahun 2022

Radikalisme 2022

Khilafah.id – Kelompok paham radikalisme di era digital tengah masif melakukan radikalisasi kepada doktrin agama, politik, ekonomi, dan media massa. Optimasi radikalisasi ini kerap kali kecenderungannya terhadap ekstremisme. Ekstremisme adalah bagian dari jihad yang ditempuh tidak lain kecuali dengan kekerasan. Di Indonesia kekerasan atas nama agama kian merajalela.

Keberangkatan arus radikalisme yang transformasi kepada jantung persoalan agama. Persoalan radikalisme politik, dan ekonomi sudah menjadi bagian dari panggung perpolitikan di tengah pemikiran yang dominan differensiatif. Namun, kenapa negara atau pemerintah selalu waspada terhadap radikalisme agama? tetapi kenapa tidak juga kepada seputar politik, dan ekonomi.

Pertanyaan ini sangat penting untuk dijawab secara objektif oleh pemerintahan Jokowi-Ma’ruf dalam rangka menghadapi radikalisme di era revolusi industri. Sebab revolusi industri 4.0 adalah tujuannya untuk menciptakan kualitas sumber daya manusia yang berintegritas. Kualitas dan integritas tersebut sebagai nawacita program pemerintah telah gagal.

Jika problematika radikalisme dianggap suatu industri atau isu dagangan sangat tidak objektif jika kita semua mencermati jejak parameter kelompok Islam yang terpapar paham radikalisme. Sesungguhnya radikalisme itu mendekati ekstremisme di mana setiap orang yang memahami agama hanya dapat diselesaikan dengan kekerasan, tetapi tidak dengan dalil keagamaan yang substantif.

Menjelang agenda tahun baru, yaitu 2022. Indonesia harus memiliki rencana atau gagasan besar tentang prospek pencegahan dan pemberantasan paham radikalisme yang sudah beredar dan menyebar di linkungan agama, politik, ekonomi, dan terutama di media massa. Apalagi di era yang serba instan, teknologi seolah-olah menjadi jalan mulus masuknya radikalisme ke pelbagai lini kehidupan.

Motif Radikalisme

Radikalisme sejenis apapun kini tentu bisa lewat kelompok atau gerakan keagamaan, gerakan politik, gerakan ekonomi dan gerakan radikalisme yang melewati media massa maupun media sosial. Radikalisme yang bergerak di media tentu merupakan bahaya yang sangat luar biasa, karena pemahaman tersebut akan dengan mudah mengubah psikologis umat Islam yang berpikir toleran malah bisa berpikir ekstrem (keras).

Cara pandang keagamaan yang tampak radikal-ekstrem selalu mengedepankan teks-teks keagamaan tanpa melihat konteksnya terlebih dahulu. Sehingga, kecenderungannya mudah menyalahkan orang lain dalam berpikir yang berbeda, dan selalu mencari legitimasi keagamaan alias pembenaran sepihak tanpa didasari konteks persoalan yang mendalam.

Radikalisme seperti demikian gampang mengundang suburnya terorisme yang memandang negara dan yang berpikir berbeda adalah musuh baginya. Padahal, hal itu merupakan bagian dari mekanisme berpancasila dan mengamalkan nilai-nilai demokrasi yang telah disepakati bersama (kalimatun sawa) oleh para tokoh bangsa dan ulama-ulama kita di negeri ini.

Di sisi lain, memang kritik atas persoalan tersebut adalah jihad keagamaan yang kerap kali didewakan tanpa jihad kemanusiaan. Sejatinya, negara akan lebih mudah mewujudkan peradaban jika jihad keagamaan dan jihad kemanusiaan seiring berjalan berdampingan dan dilandasi dengan praktik akhlak, keimanan dan ketakwaan yang amat tinggi.

Masa Depan Deradikalisasi

Deradikalisasi merupakan langkah awal dari tindakan deideologisasi paham radikal di Indonesia. Menurut hemat penulis, ada beberapa hal yang harus digenjot oleh pemerintahan saat ini. Pertama, peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme sebagai institusi yang mewadahi program deradikalisasi kepada mantan narapidana terorisme untuk kembali menyebarkan dan meluruskan pemahaman agama yang lurus sesuai ajaran Islam.

Kedua, untuk mencegah penyebaran ideologi Islam radikal alias radikalisme, deradikalisasi merupakan suatu keharusan dan mesti dilakukan dengan berbagai strategi di berbagai tempat. Hal itu dapat dianggap sebagai pendidikan strategis untuk menanamkan paham Islam moderat atau moderatisme sebagai misi negara saat ini adalah menggaungkan moderasi sebagai karakter Islam itu sendiri.

Ketiga, pendekatan hukum setidaknya menjadi jalan yang paling efektif untuk mencegah pendanaan secara illegal kepada kelompok penyebar paham radikalisme. Keempat, pendekatan dialog lintas agama, dialog ini paling tidak memberikan suau pelajaran penting tentang bagaimana cara memahami agama dengan benar serta pengamalan Pancasila sebagai dasar dalam kehidupan bernegara.

Menjelang agenda 2022, setiap catatan terakhir tentang dunia radikalisme dan terorisme di Indonesia, dan korban kekerasan atas nama agama harus dijadikan sebuah evaluasi untuk mempersempit ruang gerak kelompok penyebar paham radikalisme. Dan yang paling penting di setiap masjid-masjid agar setiap ceramah mengajarkan masyarakat untuk bersikap sopan dan santun dalam menyikapi perbedaan.

Karena pada akhirnya, perbedaan itu indah ibarat pelangi. Islam pun demikian lebih indah karena menyerupai banyak warna dalam kehidupan keberagamaan. Alhasil, yang kita cintai bukan lagi radikalisme yang suka menimbulkan kekerasan. Namun, Islam yang cinta akan tanah air yang berpotensi menunbuhkan perdamaian dan kemanusiaan di negeri ini.

Masa depan deradikalisasi, memberikan kepastian hukum yang jelas dalam memutus rantai radikalisme di Indonesia. Karena itu, langkah ini merupakan tantangan dan ujian kita. Kedepannya untuk lebih baik lagi menata dan membangun benteng keagamaan yang kuat. Supaya bisa terhindar dari radikalisme yang sudah menyasar dan masif di negeri ini. Semoga bermanfaat.

Hasin Abdullah, Alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Redaksi Khilafah.ID

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Abdulrazak Gurnah: Menyuarakan yang (Tak) Bersuara

Rab Jan 5 , 2022
Khilafah.id – Hadiah Nobel untuk Sastra pada 2021 ini jatuh kepada seorang novelis dan akademisi kelahiran Tanzania yang tinggal di Inggris. Gurnah adalah sastrawan Muslim ke-3 yang dianugerahi Hadiah Nobel setelah Naguib Mahfouz (1988) dan Orhan Pamuk (2006). Ia juga merupakan orang kedua mendapatkan Hadiah Nobel untuk Sastra sebagai alumni […]
Gurnah