Menelaah Rasialisme dalam Perspektif Islam

rasialisme

Khilafah.id – Rasisme adalah persoalan yang hingga kini masih diperbincangkan. Persoalan ini telah meracuni keharmonisan masyarakat selama berabad-abad. Dalam definisinya yang sederhana, rasisme adalah bentuk diskriminasi berdasarkan ras atau etnisitas yang merugikan individu dan masyarakat secara luas. Karena itu, rasisme dapat mengakibatkan suatu bangsa menjadi retak dan pecah.

Rasisme memberikan penghargaan dan penghormatan dalam satu kelompok, sementara merendahkan dan menindas kelompok yang lain. Maka, yang muncul dalam rasisme adalah ketidakadilan.

Dalam konteks Indonesia, kasus rasisme sering kali menimpa orang-orang Papua. Pada 2019 silam, mungkin masih segar dalam ingatan kita bagaimana aparat kepolisian melakukan tindakan rasis terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. Tak hanya itu, mereka juga meluncurkan tembakan dan gas air mata serta melontarkan kata-kata rasis kepada mereka setelah melihat bendera yang dipasang Pemerintah Surabaya jatuh ke selokan.

Bagai menuang minyak di bara api, insiden tersebut mengakibatkan warga Papua naik pitam. Mereka kemudian melakukan kerusuhan hingga membakar gedung DPR. Klimaksnya, pemerintah memblokir jaringan internet di Papua.

Perlakuan rasis juga pernah diterima oleh Obby Kogoya, Mahasiswa asal Papua yang berkuliah di Yogyakarta, pada 2016 silam. Ia dikejar, dipukuli, ditendangi dan ditangkap oleh aparat kepolisian kala hendak mengkuti aksi protes.

Sebenarnya, di kehidupan sehari-hari yang mungkin tanpa disadari, kita acap melakukan tindakan yang berbau rasial. Misalnya, kita menyuperiorkan orang yang berkulit putih dan menginferiorkan orang yang berkulit hitam. Sebagian dari kita juga mungkin bersikeras ingin memiliki kulit yang seputih mungkin dan menjaga kulit seoptimal mungkin supaya tidak berwarna hitam.

Lantas, bagaimana sebenarnya sikap Islam dalam memandang rasisme?

Islam sejatinya adalah agama yang anti terhadap rasisme.  Islam tak pernah membeda-bedakan manusia berdasarkan ras, warna kulit, gender, kedudukan dan lain-lain. Bagi islam, semua manusia itu sama. Yang membedakan antara manusia yang satu dengan yang lainnya adalah ketakwaannnya terhadap Allah SWT. Allah menjelaskan secara eksplisit dalam QS. al-Rum ayat 22:

وَمِنْ ءَايَٰتِهِۦ خَلْقُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَٰفُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَٰنِكُمْ ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَٰتٍ لِّلْعَٰلِمِينَ

Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang yang mengetahui.

Allah juga menjelaskannya dalam QS. al-Hujurat ayat 13:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Artinya: Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seeorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling bertakwa di antara kamu ialah orang yang palingtakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Dari ayat tersebut kita bisa menyimpulkan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dalam keberbedaan dan keberagaman. Apakah lantas demikian Allah tidak adil? Justru dalam keberagaman Allah telah menciptakan sesuatu tatanan yang begitu adil.

Jika hal tersebut terlalu spesifik, cobalah kita membayangkan jika di dunia ini hanya ada satu bangsa, suku, daerah, dan negara. Tentunya tidak ada sesuatu yang khas dan menarik dalam dunia ini. Begitupun juga jika pohon-pohon, buah-buahan, hewan, dan segala hal selain manusia di alam semesta ini diciptakan oleh Allah secara homogen.

Yang lebih krusial, jika segala hal dalam semesta ini diciptakan secara seragam, maka otomatis kita tidak dapat mengerti makna yang terselip di balik penciptaan alam semesta ini. Padahal Allah berkali-kali memperingatkan dalam firmannya untuk memikirkan segala fenomena yang tejadi di alam semesta ini.

Alangkah baiknya, keragaman yang diciptakan oleh Allah diisi dengan sikap toleran, saling menghormati dan bahu-membahu, alih-alih intoleran dan saling membenci terhadap sesama. Dengan ini, kita dapat mengimplementasikan watak rahmatan lil-‘alamin yang inheren dalam tubuh Islam.

Sejarah mencatat bahwa Nabi Muhammad tak pernah bersikap rasis terhadap sesama. Hal ini bisa kita tengok dari Piagam Madinah yang dicetuskannya, di mana beliau sama sekali tak mendiskreditkan ataupun mengagungkan salah satu agama atau suku.

Cerita lain tentang Nabi Muhammad yang menentang rasisme banyak terdokumentasi saat beliau menerima Islam pertama kalinya dari seorang sahabatnya yang bernama Bilal bin Rabah.

Bilal adalah seorang budak yang telah dibebaskan oleh sahabat Nabi Muhammad, Abu Bakar, setelah dia menerima Islam. Bilal adalah seorang Afrika keturunan Etiopia dan memiliki kulit yang lebih gelap. Meskipun demikian, Nabi Muhammad tidak pernah memandang rendah atas dasar warna kulit atau latar belakang etnis seseorang.

Suatu hari, salah satu tokoh Quraisy mencoba menghina Bilal karena latar belakang etnisnya yang berbeda dan warna kulitnya yang berbeda. Nabi Muhammad mendengar hal ini dan segera bertindak. Beliau menegaskan bahwa semua orang, tanpa memandang warna kulit atau latar belakang etnis, adalah sama di mata Allah.

Pada saat itu, Nabi Muhammad bahkan meminta Bilal untuk naik ke atas Kakbah, tempat yang sangat suci bagi umat Islam, untuk mengumandangkan azan sebagai tanda penghormatan terhadap kesetaraan seluruh umat Islam.

Cerita ini menunjukkan bagaimana Nabi Muhammad mendukung kesetaraan rasial dan menentang rasisme dalam segala bentuknya. Beliau mengajarkan kepada umatnya untuk memandang setiap individu berdasarkan kebaikan dan ketakwaan mereka, bukan warna kulit atau latar belakang etnis.

Tak hanya itu. Pada saat kaum kafir Quraisy sedang getol-getolnya menyiksa kaum muslim, Nabi Muhammad memerintahkan sahabatnya untuk hijrah ke negeri Habsyi (Etiopia), negeri yang dipimpin oleh raja Negus, raja berkulit hitam yang adil dan bijaksana. Kala kaum muslim berkunjung, raja tersebut menyambut mereka dengan hormat dan memperbolehkan kaum muslim tinggal di Habsyi serta bersedia menjaga mereka dari marabahaya, sekalipun harus berdebat panjang terlebih dahulu perihal Islam dengan raja tersebut.

Jadi, sudah jelas bahwa Islam merupakan agama yang toleran. Oleh sebab itu, Islam anti terhadap rasisme. Sementara itu, Nabi kita tak pernah sekali pun mengajarkan kita untuk bersikap rasis terhadap sesama. Dengan demikian, jika kita masih melakukan hal yang bertendens rasial, maka kita telah mengingkari sunatullah dan sunah Nabi.

Ahmad Syaikhu Nasrul Ilahi, Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya.

Redaksi Khilafah.ID

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Pasal dalam Piagam Madinah yang Mendukung Toleransi dan Kesetaraan

Kam Okt 19 , 2023
Khilafah.id – Pada kisaran lima belasan abad yang lalu, tepatnya tahun pertama Hijriah atau 622 Masehi jauh sebelum masyarakat dunia mengenal konstitusi tertulis, Rasulullah saw telah menyusun ‘Piagam Madinah’ yang juga dikenal sebagai konstitusi tertulis pertama di dunia. Salah satu tujuan dari Piagam Madinah ini bertujuan membentuk suatu masyarakat yang harmoni, damai […]
piagam madinah