Khilafah.id – Publik ramai dengan hadirnya podcast “Total Politik” yang mendatangkan Pandji Pragiwaksono. Riuhnya sebutan “Asian Value” dan “Human Rights” ketika host pada podcast tersebut saat menanggapi soal politik dinasti, membuat kita memahami bahwa: pertama, kelompok masyarakat ada yang tidak setuju dan tidak sepakat politik dinasti yang diciptakan oleh Presiden Joko Widodo, dengan majunya Gibran sebagai Wakil Presiden. Sebab hal itu adalah bukti kecacatan hukum yang dilakukan oleh pemerintah, melalui keputusan MK.
Kedua, sebagian kelompok masyarakat justru sepakat dengan hadirnya Gibran sebagai Wakil Presiden, sebab melihat sepak terjang Presiden Joko Widodo, yang sudah memimpin Indonesia selama kurun waktu 10 tahun terakhir. Argumen ini juga diperkuat bahwa, masyarakat adalah kelompok yang menentukan terpilihnya Prabowo-Gibran, bukan pemerintah.
Dua pendapat ini setidaknya menjadi alasan terpilihnya Prabowo-Gibran sebagai Presiden-Wakil Presiden periode 2024-2029. Seberapa besar kita mendorong bahwa politik dinasti yang diciptakan adalah indikasi korupsi dan kemunduran demokrasi, jika kelompok yang besar adalah masyarakat yang menganggap bahwa hal itu membuat masyarakat happy, maka konsekuensi logis yang kita terima menjadi bangsa adalah, dipimpin oleh orang yang sudah merusak hukum di Indonesia.
Namun, perdebatan itu kiranya sudah selesai pada saat setelah Pemilu dilaksanakan. Prabowo-Gibran, terpilih sebagai Presiden-Wakil Presiden, yang harus kita terima dengan cara dewasa, karena sudah menjadi pilihan rakyat Indonesia. Meski begitu, edukasi politik terhadap bangsa Indonesia, harus terus dilakukan sebagai bagian dari upaya menciptakan masyarakat yang melek politik.
Menanggapi keriuhan itu sebenarnya bisa kita sikapi secara dewasa sebagai bangsa Indonesia, tanpa meniadakan kritik dan meniadakan kebebasan berpendapat. Namun, yang bermasalah adalah ketika mempersoalkan masalah ini dengan cita-cita khilafah. Sungguh tidak masuk akal.
Masalah lain yang cukup menyita perhatian publik juga ketika PBNU menerima izin tambang dari Presiden Joko Widodo. Dengan berbagai alasan yang disampaikan oleh Gus Yahya Cholil Staquf, melihat urgensi dari pengembangan organisasi dan kebutuhan umat, masyarakat menanggapi dengan berbagai respon yang sangat beragam.
Kritik dengan berbagai aspek, atas keputusan yang diambil oleh PBNU, adalah keharusan. Sebab hal itu mempertimbangkan banyak aspek, termasuk kehidupan manusia yang lain, terutama ekosistem yang terdapat pada tempat tersebut. Tanpa menyalahkan kritik ataupun saran dari berbagai kelompok, tidak selayaknya mencaci-maki menjadi budaya bangsa Indonesia.
Bagaimana Kondisi Masyarakat Kita?
Dua masalah di atas, hanyalah bagian kecil dari problematika sosial yang terjadi pada bangsa Indonesia, beberapa waktu belakangan. Tentu, bukan meniadakan problem yang lain. Sebab ternyata banyak sekali masalah yang dapat memicu kerenggangan hubungan masyarakat satu dengan kelompok lain. Akan tetapi, dari dua masalah di atas, setidaknya kita memahami bahwa pada masalah pertama, tanpa ada kaitannya dengan agama, sebagian kelompok memanfaatkan isu tersebut untuk menggiring opini terhadap dukungan kepada khilafah.
Masalah kedua, justru akan membuat masyarakat tidak percaya terhadap kelompok agama. Padahal, hal tersebut tidak ada hubungannya dengan masyarakat yang tergabung dalam organisasi tersebut. Jika masalah ini terus berlarut-larut, masyarakat akan mudah diadu domba satu sama lain. Saling mengejek dan mencaci maki. Budaya tersebut bukanlah jati diri bangsa Indonesia yang saling mendukung satu sama lain.
Meski keduanya bukan masalah agama, masyarakat masih mengaitkan dengan agama. Jika hal itu terus terjadi, maka perseteruan akan tetap terjadi pada bangsa Indonesia dengan berbagai argumen pembenaran yang ada. Masyarakat tercipta secara terkotak-kotak, enggan untuk saling berdamai satu sama lain, atas dasar perbedaan yang tercipta. Ujung dari perseteruan yang terjadi beberapa waktu belakangan ini, akan dimanfaatkan oleh para aktivis khilafah untuk kepentingannya. Padahal, kedua masalah tersebut tidak ada hubungannya dengan khilafah.
Bangsa Indonesia perlu kritis namun bukan mencaci-maki, untuk memperbaiki demokrasi serta untuk melihat lebih bijak keputusan sebuah organisasi. Dengan sikap seperti itu, kita tidak mudah diadu domba oleh narasi apa pun, termasuk narasi yang menjanjikan kita pada kesejahteraan, seperti yang dikatakan oleh para khilafah.
Muallifah, Aktivis perempuan.