Khilafah.id – Pilkada 2024 menjadi salah satu momen krusial dalam demokrasi Indonesia. Bangs aini telah sukses menjalani kontestasi politik Pileg dan Pilpres 2024 dengan damai. Momentum Pilkada ini akan menjadi ujian berikutnya dari kedewasaan politik masyarakat Indonesia.
Di tengah dinamika politik yang terus berkembang, kematangan berpikir masyarakat diuji dalam menghadapi berbagai tantangan, termasuk politisasi agama. Praktik ini bukan fenomena baru, tetapi dampaknya yang berbahaya terhadap persatuan bangsa mengharuskan semua pihak untuk lebih waspada. Kedewasaan politik masyarakat adalah kunci untuk menjaga demokrasi tetap sehat dan harmonis.
Kenapa politisasi agama begitu mengkhawatirkan?
Bahaya Polarisasi dalam Masyarakat
Agama memiliki posisi istimewa dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Kedekatannya yang mendalam dengan emosi dan nilai-nilai spiritual membuat agama menjadi elemen yang sangat efektif untuk memobilisasi massa. Sayangnya, hal ini sering kali dimanfaatkan oleh aktor politik untuk memenangkan kontestasi.
Dalam berbagai kasus, agama digunakan sebagai alat pembeda pilihan politik. Kampanye-kampanye yang melibatkan narasi agama sering kali tidak hanya membujuk, tetapi juga mengintimidasi pemilih untuk mendukung kandidat tertentu. Di balik semua ini, politisasi agama sebenarnya lebih memanipulasi emosi daripada mendorong pemikiran rasional. Akibatnya, masyarakat sering kali terjebak dalam dilema yang mengaburkan batas antara keyakinan spiritual dan pilihan politik yang seharusnya berdasarkan pertimbangan rasional.
Politisasi agama sering kali memicu polarisasi yang mendalam. Ketika agama dijadikan alat pembeda pilihan politik, perpecahan di masyarakat menjadi tak terhindarkan. Polarisasi tidak hanya membagi masyarakat menjadi dua kubu yang berlawanan, tetapi juga memicu sentimen negatif seperti kecurigaan, kebencian, dan prasangka antarindividu atau kelompok.
Fenomena ini sudah terjadi di beberapa kontestasi politik sebelumnya. Misalnya, kelompok masyarakat yang berbeda pilihan politik sering kali merasa teralienasi dan sulit menjalin kembali hubungan yang harmonis setelah masa kampanye usai. Konflik yang berawal dari isu politik dapat meluas menjadi ketegangan sosial yang lebih kompleks, bahkan merusak jaringan sosial yang telah terbangun selama bertahun-tahun.
Membangun Nalar Politik yang Dewasa
Dalam konteks inilah pentingnya kedewasaan politik masyarakat. Kedewasaan politik tidak hanya berarti mampu memilih pemimpin dengan bijaksana, tetapi juga berani menolak narasi-narasi yang memecah belah. Nalar politik yang dewasa mendorong masyarakat untuk berpikir kritis dan rasional, tidak mudah terbawa arus emosi, apalagi yang berbasis sentimen agama.
Pertama, masyarakat harus belajar melihat politik sebagai ruang rasionalitas, bukan emosi. Pemilihan pemimpin seharusnya didasarkan pada kapasitas, integritas, dan program kerja yang ditawarkan, bukan pada identitas agama atau etnisnya. Memilih secara rasional berarti memeriksa rekam jejak kandidat, menilai program-program yang diusung, serta mempertimbangkan dampak kebijakan terhadap kehidupan masyarakat luas.
Kedua, pentingnya pendidikan politik bagi masyarakat tidak bisa diabaikan. Pendidikan politik yang baik mampu membekali masyarakat dengan pemahaman tentang bagaimana proses politik bekerja, apa hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara, serta bagaimana memilih berdasarkan pertimbangan objektif. Upaya ini bisa dilakukan melalui forum diskusi, seminar, ataupun kampanye edukatif yang melibatkan berbagai elemen masyarakat.
Ketiga, media sosial, sebagai salah satu alat penyebaran informasi utama di era digital, perlu dimanfaatkan secara bijaksana. Platform ini sering kali menjadi ruang bagi penyebaran hoaks dan ujaran kebencian yang berbasis sentimen agama. Oleh karena itu, literasi digital sangat penting untuk membantu masyarakat memilah informasi yang valid dan menghindari manipulasi emosi.
Mewujudkan Pilihan Politik yang Argumentatif dan Harmonis
Dalam sebuah demokrasi yang sehat, perbedaan pilihan politik adalah sesuatu yang wajar dan seharusnya tidak menjadi pemicu konflik. Justru, perbedaan ini dapat menjadi sumber kekayaan dalam mencari solusi terbaik untuk masalah-masalah yang dihadapi bangsa.
Pilihan politik yang argumentatif adalah pilihan yang didasarkan pada logika dan fakta. Masyarakat harus didorong untuk berdiskusi secara terbuka dan saling menghormati perbedaan pandangan. Dalam diskusi seperti ini, argumen yang kuat dan berdasarkan data akan lebih dihargai daripada sentimen emosional yang tidak mendasar.
Selain itu, penting bagi masyarakat untuk menyadari bahwa politik hanyalah alat untuk mencapai tujuan bersama, bukan arena untuk membuktikan siapa yang lebih superior. Dengan perspektif ini, perbedaan pilihan politik tidak akan menimbulkan permusuhan, tetapi justru memunculkan semangat kolaborasi untuk mewujudkan kepentingan bersama.
Pilkada 2024 adalah kesempatan besar bagi masyarakat Indonesia untuk menunjukkan kedewasaan politiknya. Dalam menghadapi tantangan politisasi agama, masyarakat harus berani melangkah keluar dari jebakan emosi dan memilih berdasarkan pertimbangan rasional. Agama, sebagai sumber nilai yang luhur, seharusnya menjadi perekat masyarakat, bukan alat pemecah belah.
Dengan membangun nalar politik yang dewasa, masyarakat tidak hanya dapat menghindari dampak buruk polarisasi, tetapi juga turut memperkuat demokrasi. Demokrasi yang sehat membutuhkan warga negara yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara emosional. Hanya dengan cara inilah, bangsa Indonesia dapat terus melangkah maju menuju cita-cita bersama: masyarakat yang adil, makmur, dan harmonis.
Hana, Aktivis perempuan.