Mohammad Natsir: Tokoh Masyumi Pendiri Republik Indonesia

Natsir

Khilafah.id – Sejarah Indonesia berhutang pada sosok sederhana bernama Mohammad Natsir. Ia adalah ulama, jurnalis dan pejuang yang turut mendirikan Republik ini.

Sebagai salah seorang  Pahlawan Nasional,  kisahnya bersama Bung Karno akan selalu tercatat dalam sejarah.

Sama-sama mengeyam pendidikan dan jadi aktivis pergerakan di Bandung, keduanya pun membuat partai yang keduanya sudah almarhum.

Bung Karno mendirikan Partai Nasionalis Indonesia (PNI) dengan gagasan Marhaenisme berbasis kerakyatan-Keindonesiaan yang akhirnya karam pada 1973, dilebur menjadi partai PDI Perjuangan karena proyek unifikasi parpol Orde Baru.

Sedangkan Mohammad Natsir adalah pucuk tertinggi Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang berbasisikan ideologi Pan Islamisme yang dibubarkan oleh Bung Karno pada pada tahun 1960 karena dianggap berseberangan secara ideologi dengannya.

Keduanya pun beradu gagasan kuat dalam konsepsi membentuk negara pra dan pasca kemerdekaan. Khususnya tentang relasi Islam dan negara, dua pemikiran yang hingga kini masih diperdebatkan dan jadi kajian dalam sejarah Indonesia.

Dikutip dari buku Mohammad Natsir dalam sejarah politik Indonesia (2010) yang ditulis M. Dzulfikriddin, jejak keduanya memberikan pengaruh besar dalam tumbuh kembang pemikiran demokratis di Indonesia.

“Bung Karno melambangkan seorang netral agama, sedangkan Natsir adalah simbol nasionalis Islam. Meskipun berbeda, keduanya punya semangat pembaruan Islam harus berlangsung terus dan islam harus dipertemukan dalam sosiokulutral kebangsaan,” tulisnya hal.94

Keduanya bersahabat, berteman dan berdebat, bahkan dipisahkan karena perbedaan politik.

Gagasan Integralistik Mohamamad Natsir 

Pada masa revolusi, gagasan integralistik Natsir yang dikenal dengan istilah ‘mosi integral’ membantu Indonesia bisa berdiri sendiri secara konsep kenegaraaan.

Mosi ini dilatarbelakangi hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, 23 Agustus-2 November 1949 dan efeknya, Indonesia jadi Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan 16 bagian.

Bagi Natsir, itu hanya akal-akalan Belanda saja dan ia melobi, serta membuat gagasan untuk kembali menyatukan dalam konsep negara bersatu. Gagasan ini dibawa ke parlemen 3 April 1950 dan disetujui.

Akal-akalan Belanda gagal, Indonesia membubarkan RIS.

Mohammad Hatta, menyebut mosi integral yang ia pancangkan dalam republik ini begitu berarti, diibarakat seperti proklamasi kedua bagi Republik.

Jejak Pendidikan, Bandung sebagai Pergerakan

Mohammad Natsir kecil sendiri lahir di Alahan Panjang, Lembah Gumanti, Solok, Sumatera Barat, pada tanggal 17 Juli 1908.

Ia dilahirkan dari tradisi Minangkabau yang taat dalam menjalankan ajaran agama Islam. Natsir memulai pendidikan di Sekolah Rakyat Maninjau selama dua tahun.

Berikutnya dia pindah ke Hollandsche-Inlandsche School (HIS) atau sekolah Belanda untuk pribumi di Adabiyah, Padang.

Pada tahun 1923, Natsir melanjutkan studi di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Di sini dia mulai aktif dalam kegiatan organisasi. Lulus dari MULO, Natsir merantau ke Bandung untuk belajar di Algemeene Middelbare School (AMS) dan lulus tahun 1930.

Di Bandung inilah, pemikiran dan aktivismenya  mendapatkan tempat. Ia pun belajar banyak dari ulama dan pejuang yang akhirnya jadi mentornya, mulai dari Agus Salim hingga Ahmad Hassan, pendiri Persis, organisasi yang kelak melekat dalam namanya.

Pengaruh Pendidikan Islam, Jadi Tokoh Masyumi

Sejak di Padang, ia tergabung dengan Organisasi Pemuda Jong Islamieten Bond (JIB) dan ketika pindah ke Bandung, ia didapuk jadi ketua periode 1928-1932. Selama di Bandung ini Natsir juga mendirikan Lembaga Pendidikan Islam (Pendis).

Lewat Lembaga Pendis ini namanya melambung, pengaruhnya pun begitu kuat. Pendis adalah sekolah modern yang mengintegrasikan pesantrean dan Pendidikan umum.  Dalam waktu 10 tahun, Pendis berkembang pesat, dan memiliki sekolah dari jenjang TK hingga Sekolah Dasar.

Pada tahun 1938, Natsir mulai aktif berpolitik dengan bergabung dalam Partai Islam Indonesia (PII). Periode tahun 1940-1942, Natsir menjadi Ketua PII Bandung. Pada masa pemerintahan Jepang, Natsir aktif di Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang dibentuk pada 5 September 1942.

Partai ini kelak berubah dengan Masyumi, sebuah partai besar dalam sejarah yang gabungan dari Nadhlatul Ulama (NU) Muhammadiyah dan sejumlah ormas Islam.

Dalam sejarah, ia juga mencatat pelbagia posisi penting, mulai dari Perdana Menteri hingga Menteri pada masa Bung Karno.

Ia juga dikenal dalam pergaulan Internasional dan dianggap sebagai ulama berpengaruh dunia.

Wafat dan Warisan Abadi

Setelah menghabiskan hampir seluruh hidupnya untuk umat, Mohammad Natsir wafat pada 6 Februari 1993 dan dikebumikan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Karet Bivak, Jakarta Pusat,  sehari kemudian.  Digambarkan, ketika ia wafat orang-orang menyemut dan menangisi kepergiannya.

“Isak tangis dan derai air mata Jemaah tak terhankan di sela-sela salat jenazah. Hujan lebat yang turun mengguyur kota Jakarta sejak subuh tidak mampu menahan mereka untuk mengantarkan tokoh yang mereka agungkan itu. Dua spanduk hijau bertuliskan ‘Kami siap Melanjutkan perjuanganmu, Bapak Natsir’ terpampang. Takbir terus bergema menembus cakrawala terlepas dari bibir para pengantar,” tulisnya.

Ia pun pergi dengan meninggalkan jejak dan pengaruh, serta karya yang cukup banyak. Tercatat ada 45 buku dan ratusan artikel gagasan ia terserak dan terus dipelajari hingga kini. Sosok penting Republik dapat gelar Pahlawan pada 2008 dan gagasannya pun abadi hingga kini.

Redaksi Khilafah.ID

Next Post

Intoleransi di Kalangan ASN, Haruskah Dimusnahkan?

Sab Sep 28 , 2024
Khilafah.id – Beberapa waktu lalu, viral dalam sebuah video pendek seorang perempuan yang ternyata seorang aparatur sipil negara (ASN) pejabat eselon III, protes kepada tetangganya (jemaat Kristen) yang menggelar doa bersama di rumahnya sendiri. Peristiwa kemarahan tersebut terekam dan menjadi obrolan publik di media sosial. Disebutkan pula bahwa, peristiwa itu […]
ASn

You May Like