Nafisah: Perempuan Kampung yang Nekat Hijrah ke Suriah

Nafisah

Khilafah.id – Teman-teman lebih senang memanggil saya Nafisah. Saya seorang perempuan dari enam bersaudara yang tinggal dan dibesarkan di sebuah perkampungan yang amat sangat kental keagamaannya. Saya senang berangkat ngaji ke salah seorang kyai kampung saat matahari mulai menghilang di ufuk barat.

Kyai saya mengajari materi keagamaan, lebih-lebih soal tatacara shalat, baca Al-Qur’an dengan benar, sampai belajar ilmu fikih alias hukum Islam. Sering terbersit sekian pertanyaan di benak saya begitu kyai menjelaskan tentang hukum Islam. Kyai saya berkata tegas: Agama yang paling benar di sisi Allah adalah Islam.

Saya pengin melontarkan pertanyaan: Kenapa harus Islam? Jadi, agama selain Islam sesat? Sayang, pertanyaan-pertanyaan ini tak jadi saya sampaikan, karena kyai itu mencegah saya bertanya. Kyai saya bilang: Banyak bertanya kepada guru itu tidak baik. Sebaiknya, murid mendengarkan saja.

Saya, bahkan teman-teman, mengangguk mendengar apa yang dikatakan kyai. Mengikuti apa yang diperintahkan kyai. Karena kebiasaan hanya menerima pelajaran saja tanpa dibarengi dengan diskusi, lama-lama saya jadi kurang kritis menerima setiap informasi. Lalu, dari sinilah awal mula saya semakin tergiring dan termakan dengan infomasi sesat ISIS yang saya dapatkan di media sosial.

Kala itu saya berada dalam posisi tertutup terhadap perbedaan. Sederhananya, saya membenarkan Islam sebagai agama yang paling benar, sedang agama selainnya diklaim sesat, bahkan dikafirkan. Saya makin membenci sistem negara Indonesia yang masih menerima agama-agama di luar Islam. Secara tidak langsung, negara merah putih ini mendukung sebuah kesesatan.

Saya tidak tahu dengan cara apa untuk memperbaiki sistem negara Indonesia waktu itu. Saya benci banget Indonesia. Saya pengin hengkang dari Indonesia. Tapi, saya bingung dengan cara apa saya bisa meninggalkan Indonesia. Pikiran saya tiba-tiba mengingat sebuah informasi di media sosial yang menawarkan travelling gratis sambil belajar Islam ala Nabi Muhammad Saw. Bahkan, peserta akan disediakan fasilitas yang gratis.

Saya coba lihat lokasinya memang lumayan jauh. Suriah, batin saya dalam-dalam. Saya coba hubungi sebuah kontak yang tersedia di laman website yang sedang saya baca. Katanya, segala teknis pemberangkatan nanti akan ada yang menjemput di Bandara Soekarno-Hatta sampai peserta tiba di tempat acara. Saya belum tahu motif di balik orang ISIS ini. Saya hanya mengikuti arahan mereka. Saya yakin ini mungkin hijrah yang sesungguhnya.

Saya pamit kepada orangtua. Saya pamit nyantri di sebuah pesantren. Terlihat dari raut wajah orangtua saya garis-garis kebahagiaan melihat putri sulungnya bertekad bulat belajar Islam. Orangtua saya sangat menginginkan anaknya menjadi ulama yang dapat meneruskan perjuangan Nabi Muhammad Saw.

Mendapat restu orangtua saya pergi dengan langkah kaki penuh kesenangan. Saya percaya segala restu mereka adalah doa yang dapat mengantarkan anaknya meraih apa yang diinginkan. Seorang ustazah bercadar sedang menunggu saya di Bandara Soekarno-Hatta. Dia menemani saya sampai tiba di Suriah, tepatnya Raqqah, lokasi di mana ISIS berkuasa.

Saya kaget dari awal kali bertemu ustazah itu, lebih-lebih saat tiba di Suriah. Sesuatu yang membuat saya kaget adalah semua perempuan muslimah di sana memaki cadar. Seorang ustazah itu menjelaskan bahwa semua perempuan muslimah harus menutupi aurat, sedang aurat perempuan adalah sekujur tubuh, sehingga wajah juga harus ditutupi karena termasuk aurat.

Saya memperdebatkan gagasan tentang aurat dengan seorang ustazah tadi. Sayang, saya dilarang membantah segala keputusan cadar yang telah dianggap sebagai syariat Islam. Dengan segala keterpaksaan saya akhirnya memakai cadar seperti para perempuan di Suriah. Saya merasa tidak nyaman dengan pakaian cadar. Selain karena gatal, cadar menyulitkan saya saat mau makan, bahkan menggosok gigi. Saya mikir: Kok Islam ribet banget?!

Beriring waktu saya tinggal di Suriah sudah kisaran sebulan. Kajian keislaman yang santun belum saya temui. Saya bertanya kepada masyarakat sana. Malahan, seorang menjawabnya: Berislam ya tidak usah ribet. Tidak perlu belajar sana, belajar sini. Berislam ya berperang di jalan Allah. Karena, gugur di medan perang adalah syahid. Mendengar jawaban seorang lelaki berbadan kekar itu, jantung saya hampir copot. Tak banyak basa-basi lagi, saya pamit.

Si lelaki itu tiba-tiba menarik tangan saya. Saya berusaha melepaskan genggaman erat itu, tapi tidak bisa. Saya tak berani menatap matanya. Saya hanya menjerit, tapi tak ada seorangpun yang menolong. Si lelaki itu lalu berbisik lirih di dekat telinga saya: Nikah yuk! Saya menggeleng kepala. Nggak! Lepaskan! Saya berteriak dengan sekecang-kencangnya.

Perlawanan itu tetap berujung sia-sia. Saya yang menolak paksaan nikah itu akhirnya mendapatkan intimidasi berupa pemerkosaan di sebuah markas ISIS. Tidak hanya saya merasakan nasib yang sama. Puluhan perempuan muslimah yang saya belum kenal menjerit histeris sambil minta tolong karena paksaan untuk melayani nafsu bejat para lelaki ISIS itu.

Saya meratap penuh kesedihan yang mendalam dalam hati. Hanya saya dan Tuhan yang tahu nasib saya seperti ini. Orangtua saya belum tahu. Seandainya mereka tahu, mereka pasti sedih melihat anaknya yang diharapkan jadi ulama, malah berujung jadi budak seks ISIS. Saya hanya berdoa dalam hati, suatu saat ISIS bakal hancur dengan kelakuan bejatnya sendiri. Saya terus berdoa, semoga ada jalan saya bisa kembali ke Indonesia, negeri yang kembali dirindukan.

Khalilullah, Penulis dan pengarang buku-buku keislaman.

Redaksi Khilafah.ID

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Ketika Perayaan Agama dan Sepakbola Menghentikan Perang

Sel Nov 29 , 2022
Khilafah.id – Beberapa hari lalu, di sebuah gardu depan komplek perumahan, saya bersama empat orang bapak-bapak sedang menyaksikan pertandingan antara Argentina versus Arab Saudi. Uniknya, kekalahan Argentina tidak lantas membuat mereka saling merundung, padahal, salah satu mereka mengaku pendukung tim Tango, julukan buat tim nasional Argentina. Selepas pertandingan pun dilanjutkan […]
Agama Bola