Nasib Moderasi Islam di Era Wahabisasi NKRI

Liberalisasi

Khilafah.id – Baru sepekan setelah Arab Saudi menggelar festival Halloween, masyarakat Islam di seluruh dunia riuh. Banyak yang menganggapnya fenomena akhir zaman, sebagai salah satu tanda kiamat, namun ada juga menyinggung dari sisi inkonsistensi pemerintah: melarang peringatan Maulid Nabi tapi menggelar karpet merah peringatan Halloween. Di Indonesia sendiri, ustaz-ustaz eskatolog seperti Zulkifli Ali dan Rahmat Baequni juga dapat panggung dari liberalisasi Arab Saudi ini.

Pada tulisan sebelumnya, kajian tentang moderasi dan liberalisasi sudah dibahas. Begitu pula dengan alasan mengapa Wahabi, karena fenomena di Arab Saudi, mengancam Indonesia. Tiga tulisan berseri ini sebenarnya fokus pada upaya menyuguhkan argumentasi bahwa Arab Saudi tidak tengah melakukan moderasi melainkan liberalisasi, dan karena moderasi dipakai Kerajaan, istilah tersebut akan peyoratif termasuk di Indonesia. Dari situlah, jika tak segera dibenahi, Wahabisasi di negara ini akan marak.

Menarik untuk dicatat, Muhammad bin Salman menegaskan Wahabi bukan ideologi negara. Namun klaim tersebut ibarat pepatah “habis manis sepah dibuang”, karena menegasikan peran sentral Wahabi di Arab Saudi sama dengan menegasikan eksistensi Kerajaan Ibnu Saud itu sendiri. Arab Saudi berdiri karena peran Wahabisme, dan Kerajaan sudah menjadikannya ideologi resmi selama hampir tiga abad. Dan menariknya juga, Arab Saudi memang cocok dengan ideologi tersebut.

Arab Saudi tidak punya kearifan lokal. Paling tidak karena sudah dimusnahkan oleh Wahabisme melalui proyek puritanisasi. Apa situs yang masih tersisa di Arab Saudi? Makam Nabi Muhammad pun hampir mereka bongkar. Lebih jauh lagi, suku Arab tetaplah manusia tribalisme—kesukuan. Badui Arab dikenal sebagai kelompok barbar dan tak punya peradaban. Karenanya, di Arab Saudi, ajaran Islam harus ketat. Masyarakat Arab tidak bisa terlalu dilonggarkan, atau akan kembali menjadi jahiliah.

Festival Halloween yang baru saja terjadi adalah bukti betapa seandainya Wahabisme tak mengekang, Arab Saudi sudah barbar sejak dulu. Jadi, jika Arab Saudi mengadopsi istilah ‘moderat/moderasi’ untuk proyek liberalisasi mereka, yang alih-alih mengakulturasi kearifan lokal justru mengadopsi penuh tradisi  Barat yang buruk, yang terancam adalah istilah ‘moderat’ itu sendiri. Ke depan, di Indonesia, moderasi bisa jadi tidak laku karena orang membayangkan moderasi seperti apa yang Arab Saudi lakukan hari ini.

Moderat Tidak Laku

Apakah ketidaklakukan moderasi beragama di Indonesia terjadi lantaran festival Halloween di Arab Saudi? Iya, tetapi itu bukanlah faktor yang monolitik. Satu fakta yang tidak bisa dibantah adalah bahwa kelompok Wahabi di negara ini semakin membesar, dan tanpa penanganan yang jelas dari pemerintah, kejayaan Wahabisme akan bergeser dari Arab Saudi ke Indonesia. Di negara ini, Arab memang kiblat. Lembaga Arab seperti LIPIA dan pendanaan Wahabisasi lainnya juga sudah bercokol sejak lama.

Di Indonesia, ketidaklakukan Islam moderat adalah residu penyebaran Wahabisme. Ketika ada wacana “remoderasi ajaran Islam”, secara tidak langsung, sebenarnya semua pihak tahu bahwa sejak dulu negara ini sudah menerapkan prinsip-prinsip moderasi. Islamisasi di Jawa berlangsung damai, mengakulturasi kearifan lokal, dan menampilkan wajah Islam yang khas Nusantara. Puritanisasilah yang mengoyak-ngoyak nilai moderasi, dan pelakunya adalah para pendatang baru penganut Wahabisme.

Indonesia jelas sangat dirugikan. Dahulu, ulama Nusantara banyak masyhur di Arab, sebelum Ibnu Saud melakukan puritanisasi melalui tangan Wahabisme. Tetapi hari ini malah terjadi sebaliknya: ulama Nusantara di Arab habis total, dan ulama Wahabi dari Arab banyak pindah dan berdakwah di sini. Belum lagi banyak mahasiswa yang kuliah di Arab Saudi dan sepulangnya jadi pendakwah Wahabisme. Indonesia digerogoti penganut Wahabi. Ini adalah penjajahan pemikiran yang tidak bisa dibiarkan.

Hari ini, bersamaan dengan liberalisasi Arab Saudi, Islam moderat di Indonesia akan semakin terpuruk. Kecuali jika langkah efektif segera diambil, moderasi Islam akan semakin dijauhi masyarakat. Bisa saja Arab Saudi disalahkan dalam hal ini, tetapi persoalan ini tidak akan selesai dengan pertanggungjawaban Kerajaan Ibnu Saud. Maka, umat Islam di Indonesia, baik civil society maupun pemerintah, harus segera bertindak. Jika tidak, puritanisme akan memuncak, mengubah tatanan keislaman yang sudah mapan.

Puritanisme Bangkit

Jika di Arab Saudi tengah berlangsung liberalisasi, di Indonesia justru tengah berlangsung Wahabisasi. Dalam konteks tersebut, perpeloncoan “negara Arab semakin terbuka dan negara Indonesia semakin tertutup” bukan tidak beralasan, justru relevan sebagai fenomena kekinian yang perlu mendapat respons segera. Di negara ini, puritanisme bangkit. Ajaran-ajaran Islam yang mengadopsi lokalitas dianggap menyimpang, sekalipun itu sudah lama ada di Indonesia.

Sebagai contoh, jilbab dan maulid Nabi. Pada abad kesembilan belas hingga paruh ketiga abad kedua puluh, jilbab bukan persoalan yang genting. Yang terpenting, aurat tertutup, dan para ulama perempuan di masa itu hanya menggunakan jilbab yang sederhana. Tapi tidak ada debat soal penyimpangan. Sama dengan maulid Nabi. Mengapa ia baru dipermasalahkan, padahal sudah ada sejak lama? Semua itu karena Indonesia sudah dirasuki Wahabi. Tak hanya kedaulatan negara, kerukunan umat juga terancam.

Banyak hal remeh-temeh hari ini yang memicu perdebatan sengit hingga gesekan antarkelompok. Seiring menjamurnya para dedengkot Wahabi, masyarakat Muslim memasuki periode paradoksal: semakin religius secara penampilan tetapi tingkah lakunya semakin jauh dari nilai-nilai Islam. Suka mengafirkan, menyesatkan, membid’ahkan—suatu fenomena yang tidak akan ditemui pada abad kesembilan belas ketika Wahabi belum bersarang di negara ini.

Bangkitnya puritanisme berbanding lurus dengan tergerusnya kerukunan bangsa. Indonesia sebagai negara majemuk, sama sekali tidak relevan dengan puritanisasi Wahabisme. Negara ini tidak bisa disamakan dengan Arab Saudi, dan memang tidak akan pernah sama. Jika Arab Saudi mencoba meniru Indonesia dalam hal moderasi beragama, maka mereka harus melakukannya dengan prinsip yang benar, bukan dengan liberalisasi berkedok moderasi. Indonesia yang terkena getahnya.

Nasib moderasi beragama atau Islam moderat di era gempuran Wahabisasi menjadi tantangan Indonesia. Negara ini tidak boleh pasif memandang fenomena Arab Saudi, atau iklim keislaman di negara ini akan dikuasai Wahabisme. Indonesia tentu saja boleh bangga karena Arab Saudi mengklaim mengadopsi moderasi Islam, tetapi Indonesia juga harus peka ihwal residunya: matinya moderasi di negara sendiri dan maraknya Wahabisasi di NKRI. Alih-alih untung, malah buntung. Ini harus dilawan.

Ahmad Khoiri, Mahasiswa SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Redaksi Khilafah.ID

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Berantas Rasisme Yang Melunturkan Nilai Toleransi

Sab Nov 5 , 2022
Khilafah.id – Pada dasarnya manusia yang ada di muka bumi ini tersebar diberbagai penjuru dunia. Memiliki perbedaan fisik antarsatu sama lainnya secara nyata dapat dilihat oleh mata. Perbedaan fisik ini antara lain yaitu perbedaan baik dari warna kulit, bentuk mata, bentuk rambut, atau yang lainnya. Dari perbedaan tersebut dapat dikelompokkan […]
Rasisme Intoleransi