Maka, menjadi tidak mengherankan jika sebagian besar kaum intelektual cenderung pro-Israel dan diam melihat penindasan yang menimpa Palestina. Banyak rumor menyebutkan bahwa di Amerika Serikat, para intelektual yang kedapatan mendukung Palestina akan dipersulit karir akademiknya.
Namun, di tengah berbagai tekanan itu, ada sosok intelektual yang secara terbuka menunjukkan keberpihakannya pada perjuangan Palestina dan berulang kali mengecam agenda zionisme. Lebih mencengangkannya lagi, dia adalah seorang keturunan Yahudi. Dialah Avram Noam Chomsky yang merupakan seorang filosof linguistik.
Sekilas tentang profil Noam Chomsky, ia adalah seorang pakar di bidang linguistik atau kebahasaan pada Universitas Masachuset Institute of Technology (MIT). Ia lahir pada 7 Desember 1928 di Philadelphia, Amerika Serikat dari orang tua keturunan Yahudi asal Ukraina. Ia telah menulis tidak kurang dari 100 buku tentang linguistik dan kerap disebut sebagai tokoh yang merevolusi keilmuan tersebut.
Selain sebagai pakar linguistik, Chomsky juga dikenal sebagai sosok filosof modern beraliran progresif yang kritis terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Ia berkali-kali menulis artikel di media massa atau berpidato yang secara spesifik menguliti kebobrokan kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Termasuk kebijakan negara tersebut di kawasan Timur Tengah dan negara-negara muslim.
Dari Humanisme ke Anti-Zionisme
Sebagai seorang yang mendefinisikan dirinya sebagai humanis-libertarian, Chomsky selalu lantang melawan berbagai bentuk imperialisme modern
yang dipertontonkan oleh negara-negara seperti Amerika Serikat dan sekutunya. Prinsip humanis-libertaria itu pula yang membuatnya bersikap kritis bahkan cenderung anti pada zionisme.
Sikap anti-zionism itu berulang kali ia sampaikan, baik melalui artikel, pidato, maupun wawancara di media massa. Dalam sebuah wawancara dengan Al Jazeera TV, Chomsky menyebut bahwa akar persoalan Palestina-Israel adalah pencaplokan wilayah yang disponsori oleh negara-negara Barat, terutama sekali Amerika Serikat.
Chomsky menuturkan bahwa Amerika Serikat menjadikan Israel sebagai kekuatan proksi-nya di kawasan Timur Tengah agar bisa tetap mendominasi wilayah tersebut. Sedangkan Israel membutuhkan Amerika Serikat sebagai back-up atas agenda zionismenya. Relasi mutualistik inilah yang membuat dominasi Israel sulit digoyahkan.
Berbeda dengan banyak pendukung Palestina lainnya yang masih menyetujui solusi dua negara (two states solution), Chomksy menolak dengan tegas usulan tersebut. Menurutnya, solusi itu adalah bahasa halus dari imperialisme alias kolonialisme gaya baru yang diwajarkan. Atas pandangannya inilah ia kerap dituding sebagai tokoh anti-semitisme.
Tudingan itu dijawabnya dengan menjelaskan perbedaan antara anti-semitisme dan anti-zionisme. Anti-semitisme menurut Chomksy adalah sikap kebencian dan anti-terhadap kaum Yahudi. Sentimen anti-semitisme ini berangkat dari beragam faktor seperti rasial, kecemburuan ekonomi, dan sebagainya. Anti-semitisme lebih merupakan sebuah pandangan yang tanpa dasar.
Sedangkan anti-zionisme adalah sikap anti pada agenda segelintir kalangan yang mencetuskan proyek pendirian negara Israel di wilayah Palestina. Anti-zionisme bukanlah sentimen kebencian terhadap seluruh kaum Yahudi, melainkan hanya ketidaksetujuan pada agenda politik Israel yang melanggar hak-hak rakyat Palestina.
Chomsky menuturkan bahwa untuk menjadi anti-zionisme, seseorang tidak perlu beragama Islam. Seorang Yahudi pun, jika mampu bersikap rasional dan kritis pasti akan menolak proyek zionisme. Tersebab, zionisme bertentangan dengan prinsip humanisme yang mengakui hak-hak dasar setiap individu.
Perampasan wilayah, pengusiran paksa, bahkan disertai kekerasan dan agresi militer adalah penisataan terhadap prinsip kemanusiaan. Atas pandangannya tersebut, Chomsky kerap mendapatkan pencekalan oleh pemerintah Israel. Misalnya pada tahun 2010 ia dilarang masuk ke Yerussalem Tepi Barat untuk menghadiri sebuah seminar yang mendaulatnya sebagai pembicara.
Apa yang Bisa Dipetik dari Sikap Noam Chomsky?
Pandangan dan sikap tegas Chomksy atas isu Palestina-Israel ini kiranya bisa memberikan semacam pencerahan pada kita. Pertama, bahwa konflik Palestina-Israel tidak sesederhana konflik dua agama Islam dan Yahudi. Apa yang terjadi di Palestina adalah pelanggaran HAM berat oleh Israel yang disponsori negara-negara Barat.
Kedua, menolak zionisme tidak sama dengan benci atau anti pada kaum semith (Yahudi). Ini mirip logikanya dengan menolak ISIS tidak sama dengan anti-Islam. Zionisme tidak merepresentasikan pandangan kaum Yahudi. Zionisme hanya didukung oleh kalangan ultra-konservatif Yahudi. Sementara kelompok moderat Yahudi kebanyakan menolak agenda zionisme ini.
Ketiga, sikap membela Palestina tidak harus didasarkan pada sentimen keagamaan. Kita hanya butuh rasa kemanusiaan untuk bersimpati pada apa yang dialami masyarakat Palestina. Maka, seorang Yahudi, Kristen, bahkan atheis sekalipun bisa menjadi pembela Palestina dan penentang zionisme.
Keempat, konflik Palestina-Israel merupakan isu yang kompleks karena melibatkan kepentingan luar negeri negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat. Dukungan AS pada Israel tidak dilakukan atas dasar cuma-cuma. Ada kepentingan ekonomi-politik yang membuat AS berkepentingan agar Israel tetap eksis. Ini yang harus dipahami oleh negara-negara Timur Tengah dan negara muslim lainnya.
Dari Chomsky kita belajar bahwa rasa kemanusiaan idealnya melampuai sentimen keagamaan. Sebagai seorang Yahudi, ia justru berdiri paling depan, dan bersuara paling keras; membongkar dosa-dosa zionisme dan lantang menggaungkan pembelaan terhadap rakyat Palestina.
Siti Nurul Hidayah, Penulis lepas.