Penguatan Kearifan Lokal dalam Menangkal Radikalisme-Terorisme

kearifan lokal

Khilafah.id – Kearifan lokal seperti ritual dan tradisi keagamaan sepanjang pandemi berlangsung jarang diekspresikan, meskipun ada pasti dilakukan secara minimalis. Kini, dalam fase (era) new normal, ekspresi ritual dan tradisi keagamaan mulai sedikit digalakkan seperti, malam tirakatan; dilakukan untuk menyambut hari kemerdekaan dan kirab budaya serta membuat bubur merah putih: dilakukan untuk menyambut bulan Muharam.

Era new normal ini, meminjam bahasanya Hamengku Buwono X (2020), adalah sebuah terapi psikis dan kultural healing, berefek kejut untuk merefleksi dan mengintrospeksi
betapa rapuhnya kehidupan kita kemarin, untuk itu kembalilah ke jati diri dan fungsi diri kita yang nyata.

Di situlah kini ritual dan tradisi keagamaan berada. Oleh karena, hari ini bertepatan dengan momentum kemerdekaan RI dan tahun baru Islam 1442 H, maka ini merupakan peluang emas bagi elemen masyarakat untuk mengekspresikan ritual dan tradisi keagamaannya. Ekspresi ritual dan tradisi ini pada gilirannya dapat melakukan kontra aksi radikalisme-terorisme yang akhir-akhir ini terus menguat di Indonesia.

Menguatnya radikalisme-terorisme di Indonesia dapat dilihat dari berhasilnya Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror meringkus 15 orang terduga teroris di Bekasi. Di samping, selama rentang waktu 1 Juni hingga 12 Agustus 2020, menurut data yang diolah mediaIndonesia.com, 18/8 Densus 88 ini telah menangkap 72 orang anggota kelompok teroris di Indonesia.

Realitas tersebut menunjukkan bahwa, Indonesia masih dikelilingi oleh bahaya dari teroris, yang kapan dan di mana saja seseorang bisa menjadi korban sehingga, timbul sebuah pertanyaan, mungkinkah penguatan kearifan lokal dapat menangkal radikalisme-terorisme di Indonesia?

Mengikuti kategorisasi klasik kebudayaan seperti yang ditulis J.J. Honingmen dalam Koentjaraningrat (2000), maka tradisi pada masyarakat Indonesia dapat dilihat melalui tiga kategori kebudayaan, yakni sistem nilai dan norma, praktik-praktik sosial yang telah menjadi kebiasaan dan tradisi, serta berbagai artefak atau benda-benda pusaka purbakala yang memiliki nilai budaya tinggi.

Ketiga kategori kebudayaan tersebut secara jelas bisa ditemukan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat di seluruh penjuru pelosok negeri, misal tradisi yang baru-baru ini diekspresikan adalah, tradisi malam tirakatan dan tradisi satu suro.

Wacana penguatan kearifan lokal dalam mengatasi pergeseran nilai-nilai budaya dan agama, bukanlah sesuatu hal yang baru dalam mengatasi problematika keseharian masyarakat. Hanya saja, kearifan lokal memang dirasa sudah mulai terkikis. Faktor yang menyebabkan terkikis dan sulit untuk dikembangkannya kembali karena ketakutan atau ketaatan dogmatis individu pada ajaran agama formalnya, biasanya kelompok ini kerap terjadi pada jamaah Wahabi.

Sedikit berbeda dengan pandangan tersebut, Hairus Salim (2020) berpendapat, tergerusnya tradisi dan upacara keagamaan, bukan semata karena penetrasi kalangan Wahabi — yang memang masyhur memiliki sikap keagamaan yang antitradisi lokal — melainkan bisa jadi juga karena hancurnya basis sosial, alam, dan lingkungan yang
membentuk pandangan tersebut.

Usaha untuk mempertahankannya, menurutnya lagi, tidak semata menahan laju dan melawan pandangan Wahabi, tetapi juga mempertahankan basis-basis sosial itu. Di samping, harus keluar dari zona “merah” pandemi atau harus mampu beradaptasi dengan era new normal.

Berdasar pandangan di atas, dapat dikatakan, tergerusnya kearifan lokal di Indonesia karena disebabkan oleh beberapa faktor yang di antaranya, karena adanya penetrasi dari kalangan Wahabi dan menguatnya kelompok-kelompok intoleran atau para pengasong khilafah; dan hancurnya basis sosial, alam dan lingkungan; serta karena dampak dari wabah pandemi.

Yang menjadi pertanyaan, bagaimana cara menguatkan kearifan lokal ini? Penguatan kearifan lokal dapat ditempuh dengan cara yang salah satunya adalah mengekspresikannya di momen dan kondisi yang tepat. Artinya, tidak serta-merta ritual atau tradisi dilakukan oleh seseorang atau kelompok di sembarang waktu dan kondisi terlebih di era pandemi.

Oleh karena hari ini bertepatan dengan bulan kemerdekaan RI yang ke-75 dan bulan Suro yang bagi sebagian masyarakat Indonesia dipandang sebagai bulan sakral, maka menghidupkan ritual dan tradisi keagamaan di bulan ini adalah sangat relevan. Apalagi, kita telah masuk era new normal, tentu kegiatan-kegiatan ritual dan tradisi keagamaan akan terakomodasi sepanjang mematuhi protokol kesehatan. Pendeknya, bulan inilah adalah momentum yang tepat untuk melakukan penguatan terhadap kearifan lokal yang ada.

Sebelum momentum ini berlalu, maka kita tonjolkan ekspresi ritual dan tradisi keagamaan sebagai upaya penguatan-penguatan kearifan lokal yang pada gilirannya diharapkan dapat menangkal arus radikalisme-terorisme di Indonesia. Sehingga, kerukunan dan ketentraman dalam beragama, berbangsa, dan bernegara dapat kita gapai.

Akhirnya, melalui penguatan kearifan lokal inilah pada akhirnya dapat menangkal radikalisme-terorisme di Indonesia.

Saiful Bari, Pimred Silapedia.com.

Redaksi Khilafah.ID

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Pengasong HTI: Mendebat Ajaran Plato Menggunakan Khilafah

Sel Mar 15 , 2022
Khilafah.id – Kenapa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) selalu mengundang masyarakat untuk mengkritik, mengecam dan pada akhirnya membubarkan. Bahkan tidak jarang HTI kerap menjadi topik perbincangan, didiskusikan, dan dikaji dimana-mana bukan karena nilainya, bukan karena sumbangsih ideologinya untuk Indonesia, bukan karena paradigma yang dibangunnya. Tetapi problematika dan kengototan yang masih berupa […]
HTI