Khilafah.id – Indonesia, dengan beragam suku, agama, dan budaya, adalah sebuah mozaik kebhinekaan yang indah. Namun, dinamika politik pasca-Pilkada serentak pada 27 November 2024 menjadi pengingat bahwa perbedaan juga bisa memicu ketegangan jika tidak dikelola dengan baik. Dalam Islam, perbedaan adalah rahmat, bukan ancaman. Prinsip ini mendorong umat untuk menjadi wasathiyah umat yang moderat, yang dapat menjembatani polarisasi dan memupuk harmoni sosial.
Perbedaan (ikhtilaf) adalah hal yang lumrah dalam kehidupan manusia. Allah SWT berfirman, “Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih.” (QS Hud: 118)
Ayat ini menegaskan bahwa keberagaman adalah bagian dari kehendak Ilahi. Bahkan, perbedaan dalam pemahaman agama sering kali memicu inovasi dan dinamika positif dalam keilmuan Islam, sebagaimana yang tercermin dalam berbagai mazhab fikih. Misalnya, perbedaan pendapat antara Imam Syafi’i dan Imam Hanafi tentang metode istinbath hukum justru memperkaya perspektif umat Islam.
Namun, penting untuk membedakan perbedaan yang sehat dari konflik yang destruktif. Yakni, perbedaan harus dikelola dengan adab dan saling menghormati, sebagaimana dicontohkan oleh para ulama terdahulu.
Umat wasathiyah berarti umat yang adil, seimbang, dan moderat. Moderasi bukan sekadar soal posisi di tengah, tetapi juga kemampuan untuk bersikap inklusif tanpa kehilangan prinsip. Wasathiyah menjadi kunci dalam menghadapi polarisasi, karena ia menolak ekstremitas di kedua sisi, liberalisme tanpa batas dan fanatisme tanpa toleransi.
Pasca-Pilkada serentak 2024, Indonesia menghadapi tantangan polarisasi politik yang membelah masyarakat ke dalam kelompok-kelompok yang berseberangan. Polarisasi ini diperburuk oleh narasi yang sering kali menggiring perbedaan pendapat menjadi konflik identitas. Jika tidak ditangani, ketegangan ini berpotensi mengganggu stabilitas nasional.
Dalam situasi ini, menjadikan perbedaan sebagai rahmat dan mengadopsi prinsip wasathiyah adalah solusi yang relevan. Pemerintah, tokoh agama, dan masyarakat harus berkolaborasi untuk mempromosikan dialog, membangun kesadaran kolektif, dan melawan narasi yang memecah belah.
Misalnya, dengan menyelenggarakan forum-forum lintas agama dan budaya dapat menjadi ruang untuk memperkuat kohesi sosial. Selain itu, media juga memiliki peran penting untuk mempromosikan berita yang mencerahkan, bukan memprovokasi.
Untuk menghidupkan prinsip rahmat dan moderasi dalam masyarakat, diperlukan pendekatan holistik yang melibatkan berbagai sektor. Pendidikan multikultural harus menjadi bagian integral dari kurikulum nasional, dengan menekankan pada toleransi, pengelolaan konflik, dan pemahaman sejarah kebhinekaan Indonesia agar generasi muda dapat menghargai perbedaan.
Selain itu, pemberdayaan tokoh agama seperti ulama dan pendeta sangat penting dalam menyuarakan narasi moderasi melalui khotbah dan fatwa yang memandu umat dalam menghadapi isu-isu sensitif. Penguatan media moderat juga tak kalah penting, di mana media massa dan sosial harus berperan aktif dalam menyebarkan narasi yang mempersatukan, bukan yang memecah belah.
Penegakan hukum yang adil tanpa diskriminasi akan memperkuat kepercayaan publik dan menurunkan potensi ketegangan sosial. Selain itu, peningkatan kesejahteraan sosial menjadi langkah krusial dalam mengatasi ketimpangan yang sering kali menjadi pemicu konflik, serta untuk memastikan stabilitas sosial yang berkelanjutan.
Sejarah Islam dan bangsa Indonesia sama-sama menunjukkan bahwa harmoni bisa dicapai ketika perbedaan dihormati. Piagam Madinah, misalnya, adalah contoh awal di mana perbedaan keyakinan menjadi dasar kerja sama untuk membangun masyarakat yang inklusif. Demikian pula, Pancasila sebagai falsafah bangsa Indonesia telah membuktikan kemampuannya dalam menyatukan keberagaman. Prinsip ini harus terus dipertahankan dan diterjemahkan ke dalam kebijakan yang konkret.
Perbedaan bukanlah penghalang untuk persatuan, melainkan rahmat yang memperkaya kehidupan. Dengan menghidupkan prinsip wasathiyah, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi contoh harmoni di tengah keberagaman dunia. Pasca-Pilkada 2024, tantangan polarisasi hanya bisa diatasi jika seluruh elemen bangsa berkomitmen untuk merangkul perbedaan dan menempatkan moderasi sebagai landasan utama.
Imam Santoso, Penulis lepas.