Perempuan dan Dimensi Feminisme; Mengapa Mereka Rentan Terjerumus Teror?

dimensi feminisme

Khilafah.id – Beberapa waktu yang lalu jagat media sosial diramaikan dengan perbincangan mengenai film Selesai yang dibintangi oleh sederet artis papan atas, sebut saja Gading Martin, Anya Geraldine dan Ariel Tatum. Film besutan dari sutradara dokter Tompi ini mengisahkan mengenai hubungan realitas keluarga yang sering terjadi dalam masyarakat Indonesia.

Sebagian orang amat mengapresiasi film ini, sebagian yang lain menilai bahwa film ini amat seksisme dan merendahkan martabat perempuan, dan sisanya mereka tak lebih dari hanya menonton, menikmati sebuah karya pure dari film, mungkin golongan terakhir ini golongan yang “cuek” dan sudah merasa jengah dengan dunia yang dilanda ketidakpastian. Pikiran mereka yang terpenting film ini hadir sebagai bentuk relaksasi pikiran yang sedang kacau, namun satu yang pasti, mereka butuh hiburan.

Berbicara mengenai sebuah film yang mengangkat subtema perempuan, sebenarnya sudah banyak film serupa film Selesai yang telah lebih dulu hadir dalam dunia action, ambilah contoh seperti film Elona Holmes (2020) yang mengangkat latar belakang emansipasi wanita pada dekade 80 di Negara Inggris. Karakter Ibu Elona atau Mrs. Eudoria ini memerankan seorang perempuan yang menantang pemikiran pada zamannya, di Indonesia ia seperti halnya R.A Kartini.

Mrs. Eudoria memiliki sebuah perkumpulan yang menginginkan adanya perubahan kasta sosial, perempuan setidaknya diberikan ruang public untuk menyerukan pendapatnya dan tidak hanya berputar antara persoalan dapur, sumur dan kasur, ia ditampilkan sebagai karakter yang menginginkan perubahan di tengah kondisi sosial yang tak bersahabat.

Ada juga film terbaru berjudul “Marriage”, film ini menceritakan tentang sepasang suami istri yang hendak bercerai karena ketidak sepahaman antara satu sama lain, menampilkan permasalahan kompleks bagi 2 orang yang menjalani sebuah komitmen pernikahan yang di uji dengan kekurangan antar pasangan dan kehadiran pihak ketiga, “Vika” yang berperan sebagai istri menampilkan perempuan metropolis masa kini, seorang wanita karier yang dituntut oleh pekerjaan dan tugas rumah sebagai istri.

Dalam dunia sastra pesantren misalnya, kita dapat melihat novel “Dua Barista” karya Najhaty Sharma yang menampilkan sosok “Mazarina” sebagai tokoh perempuan yang memiliki keluasan berfikir, keturunan pemangku dari sebuah pesantren namun menjadi korban poligami atas dasar dilematis bahwa ia seorang perempuan yang tak mampu memberikan pelayanan dalam urusan dapur dan kasur untuk memberikan keturunan kepada suaminya. Begitu banyak kritik dan sentilan yang mengangkat tema emansipasi wanita membuat kita bertanya, sejauh mana gerakan ini mendapat gaungnya dalam sepak terjang dunia?

Dari Barat, kita dapat melihat bahwa sejarah feminisme terjadi sebagai bentuk gerakan menentang kekuasaan laki-laki yang sewenang-wenang kepada kaum hawa atas korban inkuisisi gereja, inkuisisi yang terjadi selama 3 abad lamanya, membuat kaum hawa tersadarkan akan perlunya sebuah perubahan bagi mereka agar tak menjadi golongan nomor dua dalam segala hal. Gender sendiri muncul dari jenis kelamin biologis yang menuntut persamaan dalam hak, menuju kelamin sosial.

Perbedaan antara seks dan gender, seks adalah perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan beserta fungsi alat reproduksinya, sedangkan gender merupakan bentuk perbedaan sifat peran, kasta sosial, hak dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan berdasarkan kesepakatan sosial yang terjadi di lingkungan masyarakat, gejala dan tekanan yang terlalu lama kaum hawa terima akhirnya membuat mereka bergolak dan memutuskan nasibnya sendiri melalui gerakan feminisme dalam bentuk artian mereka.

Dalam Islam, feminisme dan emansipasi wanita sebenarnya telah melanglang buana jauh sebelum para aktivis perempuan barat menggelar berbagai macam demonstrasi dan protes atas hak mereka, bahkan hal ini terjadi ketika Nabi Muhammad masih hidup, hal ini dibuktikan dalam surat al-Baqarah ayat 228, dalam ayat itu pengarang kitab Tafsir Jalalain menafsirkan bahwa dalam syariat, wanita memiliki hak yang sama dengan para suami, baik dalam pergaulan sehari-hari, meninggalkan hal-hal yang dapat mencelakakan diri mereka dan lain sebagainya.

Adapun perbedaan yang muncul tak lain disebabkan maskawin yang dikeluarkan suami dan biaya hidup yang telah suami keluarkan untuk para istrinya, (Jalaluddin bin Muhammad Al-Mahally dan Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar As-Suyuthi, Tafsir Jalalain, [Darul Fikr:1981 M/1401 H] hal. 34-35).

Sementara dasar seorang perempuan memiliki hak politik yang sama dengan laki-laki dapat kita temukan dalam surat at-Taubah ayat 71, dimana perempuan memiliki hak politik dalam rangka amar makruf nahi munkar termasuk memberi kritik dan saran kepada para penguasa. Islam juga agama pertama yang memberi hak perempuan untuk memiliki dan mewarisi kekayaan harta benda.

Islam seringkali di tuduh sebagai agama yang mengekang hak perempuan, namun jika kita melihat dalam berbagai literal hadits dan sejarah, para perempuan di zaman nabi banyak yang bekerja dan memiliki keahlian tertentu, beberapa diantara mereka Zainab binti Jahsy, Zainab Ats-Tsaqafiyah RA (industri rumahan), Asy-Syifa binti Abdullah Al-Qurasyiyah RA (perawat), Malkah Ats-Tsaqafiyah (pedagang parfum), Ummu Ra’lah Al-Qusyairiyah (perias wajah) dan bahkan istri Rasulullah sendiri Khadijah binti Khuwailid merupakan pedagang sukses pada masanya, yang mampu melakukan ekspor-impor hingga lintas negara.

Dalam konteks keilmuan, Aisyah sebagai istri Rasulullah yang telah lama dikenal sebagai wanita cerdas bahkan menduduki urutan keempat al-muktsirun fi ar-riwayah (orang-orang yang paling banyak meriwayatkan hadits) sanad yang berasal dari beliau banyak sekali dikutip dan dijadikan tendensi dalil hukum oleh para ulama, lalu ada Fatimah Al-Fihri, seorang perempuan pendiri universitas pertama dan tertua di dunia yaitu Universitas Al-Qarawiyyin yang terletak di Kota Fes, Maroko.

Indonesia sendiri memiliki R.A. Kartini sebagai simbol perjuangan emansipasi wanita, ada juga Prof Huzaemah Tahido Yanggo, yang dikenal sebagai Ketua Komisi Fatwa MUI, Rektor Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) dan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, telah begitu banyak contoh perempuan pada nyatanya telah mendapatkan tempat dan haknya dalam kasta sosial, peran dan tanggung jawab yang sama dengan lelaki, maka bentuk kemunduran andai kita masih saja menganggap dan memposisikan perempuan sebagai golongan kelas dua dalam berbagai urusan baik hak, peran dan tanggung jawabnya.

Wildan Rifqi Asyfia, Alumni Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon.

Redaksi Khilafah.ID

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Pendidikan Moderasi Beragama Berbasis Digital, Efektifkah?

Sen Des 13 , 2021
Khilafah.id – Sebuah studi dari Microsoft mengenai Digital Transformation di tahun 2016 akhir membuktikan kehadiran digitalisasi hampir diminati semua negara. Pada studi ini melibatkan 13 negara dengan hampir 1500 pemimpin bisnis dan 265 pemimpin pendidikan. Hasilnya, 87% pemimpin di industri pendidikan menghendaki transformasi menuju digitalisasi. Akan tetapi, yang telah mempersiapkannya […]
moderasi