Khilafah.id – Intoleransi keberagamaan menjadi problem yang sampai sekarang masih menjadi rintangan untuk hidup dalam kerukunan dan keharmonisan. Sikap ini biasanya muncul sebagai dampak dari nalar dikotomis-dialektis dalam memahami dan memandang agama.
Logika yang digunakan adalah logika hitam putih yang jika ditarik lagi sebenarnya berasal dari orientasi beragama yang terlalu memandang agama sebagai agama hukum. Nalar dialektis-dikotomis seperti ini meniscayakan orang lain atau kelompok lain salah, hanya dirinyalah yang benar.
Sikap seperti ini ditujukan bukan hanya kepada mereka yang berbeda agama dan keyakinan melainkan kelompok lain yang masih dalam internal Agama Islam pun kerap menjadi korban.
Orang-orang yang memiliki keyakinan atau agama berbeda kerap dipandang sebagai kelompok kelas dua (inferior) di tengah-tengah golongan mayoritas seperti di Indonesia ini. Sikap seperti ini disinyalir berpotensi merusak keutuhan dan kerukunan bangsa yang sudah terbentuk dengan susah payah.
Hidup dalam realitas kemajemukan seperti di Indonesia ini memang rentan menimbulkan gesekan-gesekan yang berujung kepada perpecahan. Sehingga sikap yang tepat untuk menyikapi realitas tersebut adalah dengan berusaha menerima kelompok lain dengan kultur budaya dan agama yang berbeda.
Di sini, kita harus lebih mengedepankan aspek humanisme dan mengedepankan sisi-sisi kemanusiaan dari pada menonjolkan identitas-identitas parsial yang berpotensi menimbulkan kecemburuan kelompok yang memiliki identitas lain.
Aturan Islam Mengenai Interaksi Dengan Kelompok Lain
Islam adalah agama yang mengusung semboyang rahmatan li al-alamin, menebar rahmat kasih sayang bagi seluruh alam. Rahmat dan kasing sayang Islam tidak hanya terbatas bagi umat Muslim saja, melainkan seluruh manusia tanpa terkecuali seharusnya dapat merasakan karakter dasar Agama Islam tersebut.
Terkait dengan interaksi dengan umat beragama lain, Islam telah menggariskan aturan-aturan yang sangat indah. Dalam kondisi damai, Islam sangat getol menyuarakan perlindungan hak-hak umat beragama lain untuk tetap hidup dengan tenteram dan damai tanpa ada gangguan baik terhadap jiwa, harta maupun kehormatan.
Bahkan dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw. pernah memberi ancaman kepada orang yang menyakiti atau membunuh non-Muslim yang dalam lingkungan damai. Beliau bersabda,
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الجَنَّةِ، وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا
Barang siapa yang membunuh orang kafir mu’ahad (non-Muslim yang beramai dengan umat Islam) maka ia tidak akan pernah mencium wangi surga. Padahal, wangi surga dapat tercium dari jarak perjalaan 40 tahun. HR. Bukhari no. 3166
Apa yang disabdakan Nabi Muhammad Saw. di atas sangat bertentangan dengan kelompok teroris yang melakukan bom bunuh diri yang mengatas namakan jihad. Mirisnya, tinakan yang mereka lakukan itu bukan hanya menyasar umat beragama lain tetapi terkadang orang-orang Islam juga menjadi korban.
Jangankan sampai membunuh, menyakiti non-Muslim dalam bingkai suasana perdamaian juga sangat dikecam oleh Nabi. Dalam hadis lain Nabi Saw. pernah bersabda:
Barang siapa yang menakiti kafir dzimmi (non-Muslim yang hidup di bawah perlindungan negara Islam) maka ia sama dengan menyakitiku.
Dari sikap Nabi Saw. tersebut, dapat kita katakan bahwa Islam sangat menjaga kehormatan dan keselamatan non-Muslim yang hidup bersama-sama umat Islam. Menyakiti mereka dengan mengatasnamakan agama dan keyakinan adalah tindakan kriminal dan pelakunya harus segera ditindak dengan tegas. Sebab, tindakan tersebut dapat mengusik kerukunan dan ketenteraman yang telah terjain di masyarakat.
Belajar Toleransi dari Piagam Madinah
Periode dakwah Nabi Muhammad saw. secara umum dapat dibagi menjadi dua periode. Pertama periode Mekkah yang goal utamanya adalah mengukuhkan keimanan dan tauhid. Karena Nabi Saw. baru memulai misi dakwah maka tema-tema yang muncul seputar tauhid dan semacamnya.
Kedua, periode Madinah yang keimanan dan ketauhidan masyarakat dan sasaran dakwah ketika itu dinilai telah memiliki ketauhidan serta keimanan yang kokoh. Sehingga orientasi dakwah Nabi pada periode ini adalah membentuk masyarakat yang berperadaban serta menguatkan sendi-sendi kenegaraan.
Pada periode Madinah inilah pelajaran mengenai kita dapat melacak bagaimana interaksi Nabi bersama umat agama lain dalam bingkai negara Madinah. Sebagaimana sudah maklum bahwa Madinah tidak hanya dihuni oleh penduduk Ansar yang notabene merupakan pribumi, melainkan ada orang-orang Yahudi juga yang berdomisili di Madinah.
Setelah Nabi Saw. hijrah ke Madinah bersama para sahabatnya, beliau kemudian dilantik menjadi pemimpin di kota yang dulunya bernama Yasrib tersebut. Di sinilah beliau mulai mengatur strategi untuk membangun masyarakat Madinah yang rukun serta memiliki power untuk menghalau serangan dari pihak luar.
Selain membut kebijakan yang membuat persaudaraan dan persatuan antar umat Islam semakin kokoh, Nabi Saw. juga membuat kebijakan bagi kaum agama lain.
Salah satu keberhasilan Rasulullah Saw. dalam membangun kerukunan umat di Madinah adalah terbentuknya Piagam Madinah (Shahifah Madinah). Dalam piagam yang berisi sekitar 47 pasal tersebut Rasulullah Saw. berhasil menyatukan seluruh masyarakat Madinah yang terdiri dari latar belakang suku dan agama yang berbeda.
Keberadaan Piagam Madinah ini merupakan representasi dari bagaimana seharusnya kita berinteraksi dengan umat beragama lain. Dengan piagam tersebut, Nabi Muhammad Saw. mengajarkan betapa kerukunan masyarakat amat penting dipertahankan. Di antara beberapa pasal yang mengindikasikan sikap toleransi beragama adalah sebagai berikut:
لليهود دينهم و للمسلمين دينهم مواليهم و انفسهم الا من ظلم و اثم
Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum Muslim agama mereka. Kebebasan ini berlaku bagi sekutu dan diri mereka sendiri kecuali bagi orang yang zalim dan jahat.
و ان يهود بني عوف امة مع المؤمنين لليهودي دينهم و للمسلمين دينهم
Kaum Yahudi Bani ‘Auf satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka dan bagi kaum Muslim agama mereka.
ان بينهم النصر على من دهم يثرب
Sungguh di antara mereka (pihak yang bersepakat) bahu membahu dalam menghadapi pihak yang menyerang Kota Madinah (Yatsrib).
و انه من تبعنا من يهود فان له النصر و الاسوة غير مظلومين ولا متناصرين عليهم
Kaum Yahudi yang turut bersama kita berhak mendapatkan pertolongan dan kesetaraan hak. Tidak dizalimi dan tidak diperangi.
و ان بينهم النصح و النصيحة و البر دون الاثم
Dan di antara mereka harus saling beritikad baik, saling menasehati dan berbuat baik, bukan berbukan jahat.
Demikianlah butir-butir Piagam Madinah yang menunjukkan sikap Nabi dalam menjalin interaksi dan hubungan dengan pemeluk agama lain. Umat Islam perlu mendalami dan merenungkan kembali keberhasilan Nabi Muhammad Saw. dalam membangun masyarakat Madinah dengan Piagam Madinah sebagai konstitusinya.
Dengan demikian diharapkan tumbuhnya sikap toleransi dan kerukunan antar sesama dalam membangun lingkungan masyarakat dan negara yang bermartabat serta berperadaban. Sekian.
Muhammad Zainul Mujahid, Peminat Kajian Fikih Ushul Fikih, Mahasantri Ma’had Aly Situbondo.