Sumpah Pemuda 2022: Menyalakan Watak Pemuda Moderasi, Menghapus Watak Pemuda Intoleransi

Khilafah.id – Urgensi pemuda hari ini, sejatinya bukan ia yang berteriak kencang mengatakan: merdeka! Karena, persoalannya hari ini bukan lagi pada tahap perjuangan. Namun, yang dibutuhkan dari pemuda sekarang, adalah pemuda yang siap merawat peninggalan pemuda masa lalu: persatuan dan persaudaraan.

Pesan penting pemuda dulu adalah pesan kedamaian. Mereka mengobarkan semangat dan membangunkan jiwanya, hanya demi kedamaian sebagai basis langkah dalam menjaga NKRI. Maka itu, spirit pemuda hari ini tidak boleh kosong dengan apa yang disebut welas asih: moderasi.

Poros Ideal Pemuda

Jihad ikrar pemuda hari ini harus berporos pada masalah-masalah yang sedang terjadi dan oleh demikian pemuda harus bisa menghadapi. Misalnya, pada oreintasi rong-rongrongan nasionalisme negara yang terus digrogoti dari dalam. Atau, kepada perusak kedamaian negara-bangsa. Pemuda harus berorientasi pada titik perjuangan itu. Demi apa? Demi menjaga dan melindungi keutuhan negara Indonesia.

Misi berjuang sampai titik darah penghabisan adalah modal awal bagaimana pemuda bisa bersuara demi menjaga stabilitas kenyaman sosial publik. Bahasa ini mungkin terlampau ideal. Tapi kenyataannya, kita memang dituntut ke arah sana, yakni berperan penting dalam menjaga empat Pilar Kebangsaan.

Korelasi Ke-watak-an

Jadi, korelasi pemuda dulu dan sekarang adalah memperjuangkan persatuan, kesatuan, dan persaudaraan. Hal ini wajib menjadi modal untuk menghentikan klasifikasi identitas yang sering dilontarkan oleh banyak orang demi kepentingan-kepentingan pragmatis dan irasionalis, serta duit.

Mengapa harus dihentikan? Sebab di banyak kasus, klasifikasi identitas ini sering menjadi masalah dan keterpecahan. Karena yang dicari di area sana, adalah bukan cara membangun persaudaraan kebangsaan, melainkan mencari celah perbedaan di antara sesama bangsa.

Celah perbedaan-perbedaan itu yang selalu dijadikan alasan untuk menghardik dan berpeluang untuk menyulut kesalahpahaman. Dan hal itu ceruk empuk bagi oknum dan kelompok yang suka perpecahan. Sehingga, jika celah itu terus menganga, yang terjadi, kita akan menemukan suatu negara seperti di negara-negara Timur Tengah: luluh lantak kemanusiaan.

Di sana, perbedaan-perbedaan diperjelas. Perbedaan-perbedaan diperjelas ke panggung sosial lewat hardikan emosional identitas. Akhirnya, negara-negara tersebut mengalami disentegritas dan kebencian identitas. Dan yang terjadi sekarang adalah kesengsaraan demi kesengsaraan.

Perbedaan Itu Rahmat

Melihat fakta itu, seharusnya pemuda sekarang harus bisa mengupayakan perbedaan ke lanskap yang lebih rapih dan tertata. Artinya, pemuda sekarang wajib mampu menafsirkan ulang bahwa perpedaan itu adalah rahmat yang maha besar.

Pemuda sekarang harus bisa memperjelas ke mata publik bahwa dengan kita berbeda, kita adalah ciptaan istimewa, yang bisa membawa itu ke dalam satu kesadaran untuk bersatu. Bersatu artinya berpadu. Berpadu bisa menghasilkan dunia keadiluhungan yang nyatu.

Dalam agama Islam, satu dan persatuan menjadi ranah penting yang terus diperjuangkan Rasulullah. Bahkan Rasul diutus ke dunia, salah satunya untuk menyatukan perbedaan dan untuk mendamaikan yang tercerai-berai untuk disatukan. Inilah yang disebut watak moderasi.

Membumikan Watak Pemuda Moderasi

Watak toleransi ini wajib kiranya ada dan selalu ada di dalam setiap pemuda. Pemuda jangan sampai mengalami radikalisasi. Apalagi dengan intensnya dengan internat, di mana teroris selalu berupaya menarik pemuda masuk ke dalam perangkapnya melalui algoritma canggihnya, yang kemudian menjadikannya sebagai sosok berbahaya yang siap melahap dan melakukan aksi teror.

Ingat, hari ini, konten-konten radikal-teror beranak-pinak di media sosial. Bahkan jika kita boleh membuka data, sepanjang tahun 2021, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme mengidentifikasi lebih dari 600 situs berpotensi menyebarkan konten radikal-intoleran. Di antaranya, berisi konten propaganda dengan rincian informasi serangan (409), anti-Negara Kesatuan Republik Indonesia (147), anti-Pancasila (85), intoleran (7), dan takfiri (2). Selain itu juga berisi konten pendanaan dan pelatihan terorisme (Kompas 28/12/2021). Dari semua rincian itu, dominan terjadi pada generasi muda.

Mengetahui hal tersebut, harus diakui bahwa ancaman narasi propaganda intoleransi berlangsung setiap saat dan di setiap waktu di media sosial. Tranmisi penyebaran paham dan ide-ide radikal-intoleransi berbalut agama tampak sudah lazim ditemui dan menjadi makanan sehari-hari. Maka itu, seperti kata pengamat terorisme Chaidar, teroris hari ini sangat vocal dan pintar dalam mengelola manejemen wacana yang sangat spesifik, seperti jihad, separatisme, dan juga baiat di media sosial.

Kendati itu, tidak ada jalan keluar lagi, selain pemuda hari ini harus kita fokuskan lagi pada dunia moderasi. Dunia moderasi ini adalah dunia yang berisi cita-cita bersama untuk sama-sama hidup dalam bingkai keadilan, kebersamaan, dan serta memberi pemahaman arti penting bersikap toleransi dan bagaimana menjadi manusia yang baik. Jika hal tersebut dapat kita upayakan, dikit demi sedikit, kita bisa menyalakan watak pemuda moderasi, dan bisa menghapus watak pemuda intoleransi. Itu!

Agus Wedi, Peminat Kajian Sosial dan Keislaman.

Redaksi Khilafah.ID

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

SARA dan Polarisasi Tajam Dua Kubu Ultra Kanan

Jum Okt 28 , 2022
Khilafah.id – Secara garis besar, kekuatan politik di Indonesia terbelah menjadi dua  kubu utama, yaitu kelompok Islamis dan kelompok Nasionalis. Meskipun pembagian seperti itu tidak seluruhnya tepat mengingat kaum Islamis tidak serta merta tak nasionalis dan kaum Nasionalis belum tentu anti-Islam dan tidak semuanya non-muslim—dan pada prakteknya, demi  meraih suara, […]
Polarisasi