Khilafah.id – Komisi Fatwa MUI mengeluarkan sebuah fatwa keharaman salam lintas agama. Mereka memahami sebuah ayat secara tekstual di dalam AL-Qur’an lalu dijadikan legitimasi dasar hukum fatwa tersebut. Yaitu (Qs. Al-Baqarah:42) “Dan janganlah kamu campur adukan kebenaran dengan kebatilan dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya”.
Tentu, kita perlu meluruskan salah tafsir atas (Qs. Al-Baqarah:42). Sebab, istilah kata “janganlah kamu campur adukan kebenaran dengan kebatilan” jangan dipahami secara tekstual ke dalam penilaian subjektif atas kebenaran keyakinan agama lain seperti salam keagamaan itu. Sehingga, kesimpulan yang dimiliki adalah: pemahaman yang eksklusif bahwa salam agama lain dianggap kebatilan yang tak boleh dicampur dengan kebenaran (merujuk pada klaim beragama) yang akan menegasi keberagaman.
Konteks ayat (Qs. Al-Baqarah:42) tidak berbicara tentang klaim benar-salah dalam koridor keyakinan umat yang berbeda-beda. Sebab, ayat tersebut berkaitan dengan perilaku Bani Israil yang kerap menambahkan pandangannya (pikirannya yang politis) lalu dimasukkan ke dalam kitab Suci Taurat. Lalu pandangan itu diklaim ajaran Taurat, sehingga antara kebenaran-Nya dengan kebatilan itu campur-aduk.
Maka tafsiran yang relevan di era saat ini adalah: jangan sampai mencampuradukkan antara perilaku keadilan dan kezhaliman. Islam selalu menjunjung kebenaran akan nilai-nilai keadilan. Namun pikiran kita yang terkadang penuh kebencian kerap mencampuradukkan kebenaran (berbuat adil) sehingga cenderung berbuat kezhaliman/diskriminasi/intoleransi.
Kebenaran-Nya tak pernah memerintahkan berbuat zhalim, berbuat benci dan berlaku intolerant. Artinya apa? ayat tersebut memerintahkan kita untuk membuka pikiran agar kembali pada kebenaran-Nya. Sebagaimana, kebenaran-Nya bahkan tak pernah membenarkan tindakan sentiment terhadap umat agama lain. Jadi, kebatilan selalu lahir dari pikiran-pikiran manusia yang kerap cenderung politis dalam beragama.
Kebiasaan kaum Bani Israil sejak dulu kerap menyembunyikan kebenaran padahal mereka mengetahui kebenaran itu. Kalau kita luruskan ke dalam pemahaman yang relevan di era kita hari ini. Mengapa banyak orang yang ingin menyembunyikan kebenaran-Nya bahwa keberagaman adalah sunnatullah yang harus kita jaga dengan baik?
Seperti kelompok conservatism agama, mereka kerap menjadikan tafsiran (pikirannya yang politis) lalu dianggap kebenaran-Nya yang harus diikuti. Barangkali, legitimasi ayat (Qs. Al-Baarah:42) yang dijadikan alat keharaman salam lintas agama sungguh tidaklah tepat. Sebab, konteks dan pesan di dalam ayat tersebut cenderung merujuk pada karakter Bani Israil terdahulu yang kerap memasukkan pikiran-pikirannya yang politis ke dalam kitab Taurat dan sering menyembunyikan kebenaran-Nya.
Kita tahu bersama, Allah SWT di dalam Al-Qur’an dalam (Qs Al-Baqarah:148) menegaskan bahwa kita telah diberikan syariat yang berbeda. Jelas, keberadaan agama lain telah menjadi kebenaran-Nya yang banyak kelompok radikal ingin menyembunyikan kebenaran itu. “Dan setiap umat mempunyai kiblat yang dia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lomba-lah kamu dalam kebaikan. Di mana saja, kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu semuanya”.
Jika kita luruskan pemahaman ayat (Qs. Al-Baqarah:42). Ini berkaitan dengan karakter Bani Israil yang sering memasukkan pemikirannya yang politis ke dalam Injil (mencampuradukkan kebenaran dan kebatilan) dan suka menyembunyikan kebenaran. Jadi, siapa-pun yang secara sengaja ingin merobek keberagaman yang kokoh dalam semangat saling berlomba dalam kebaikan, seperti fungsi (salam lintas agama), lantas apakah ini juga disebut sebagai perilaku yang mencampuradukkan kebatilan dengan kebenaran?
Kebenaran sejati di dalam Al-Qur’an kita dituntut untuk selalu berbuat baik dan menerima keberagaman sebagai kehendak-Nya. Tugas kita adalah saling berbuat baik, menjaga hubungan agar tak berpecah-belah. Tentu, dengan cara apa-pun termasuk ijtihad salam lintas agama sebagai jalan untuk membangun hubungan baik lewat saling ucap salam lintas agama itu. Seperti yang ditegaskan dalam (Qs. Al-Mumtahanah:8) “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu”.