Ulama Versi Muhammadiyah, Apa Kriterianya?

ulama Muhammadiyah

Khilafah.id – Prof. M. Din Syamsuddin, dalam mengantarkan buku Filsafat Pendidikan Muhammadiyah yang saya tulis 10 tahun lalu, menyebutkan bahwa ulama yang banyak dibicarakan adalah mereka yang derajatnya telah diangkat oleh Allah Swt lantaran keilmuan dan keimanan mereka. Ini dipahami dari firman Allah dalam QS. Al-Mujadilah ayat 11, yang oleh Muhammadiyah ayat ini dijadikan motto pendidikan yang hingga sekarang dan entah sampai kapan, akan terus diupayakan untuk mewujudkannya. Yakni melalui program-program kependidikan di semua level; dari TK hingga perguruan tinggi.

Jurang Pemisah antara Mereka yang Beriman dan Mereka yang Berilmu

Lebih lanjut, Prof. Din menuliskan, bahwa pilihan Muhammadiyah terhadap ayat tersebut sebagai motto pendidikannya, karena ayat ini pada masa sebelum Muhammadiyah lahir, dipahami masyarakat Islam secara dikotomik. Yaitu membedakan antara orang yang beriman dengan orang yang beilmu pengetahuan. Orang yang beriman menjadi wilayah tujuan pembelajaran agama.

Allah Swt akan memberinya derajat berupa jannah (surga), belajarnya lewat pesantren atau madrasah. Sedangkan orang yang berilmu pengetahuan menjadi sajian pembelajaran umum domain non-santri dengan derajat yang didapatnya berupa imbalan empirik di dunia nyata. Lanjutan konsekuensi logis dari cara pandang dikotomik di atas, terlihat jelas dalam sejarah.

Bahwa pendidikan umat Islam tempo dulu (pra-Muhammadiyah) masih sangat sederhana sehingga termarjinalkan atau bahkan mengisolir (mengharamkan) diri dari berbagai jenis ilmu yang dianggapnya kafir karena datang dari kolonial.

Mereka merasa lebih nyaman mengikatkan diri pada golongan yang pertama, yang lebih memprioritaskan pelajaran yang diberikan para kyai di lembaga atau pesantrennya masing-masing. Dalam kajian sosiologis, mereka menyebutnya sebagai golongan santri. Sedangkan yang dikategorikan golongan kedua (non santri) disebut sebagai solongan sekuler.

Menghapus Jurang Pemisah

Alternatif Muhammadiyah (KH. Ahmad Dahlan) menjadikan QS. Al-Mujadilah: 11 sebagai motto pendidikan. Secara otomatis, melakukan koreksi total dan mendasar terhadap cara pandang dikotomik sebagaimana tersebut di atas. Menurut KH. Ahmad Dahlan, memisahkan golongan amanuu (golongan santri) dengan utul-‘ilm (golongan sekuler), dari segi bahasa (tekstual) dapat diterima.

Tetapi dari segi konteks, utamanya konteks kependidikan, memisahkannya belum dapat diterima sebagai pemahaman yang benar. Bagi KH. Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), bahwa untuk menjadi golongan orang yang beriman (santri) tidak akan tercapai tanpa melalui pendidikan. Begitu juga untuk menjadi orang yang berilmu pengetahuan (sekuler), tidak akan pernah terjadi jika tanpa pendidikan.

Oleh karena itu, menurut Muhammadiyah (K.H. Ahmad Dahlan), pesan yang terkandung dalam QS. Al-Mujadilah tersebut adalah mewajibkan umat Muhammad Saw (Muhammadiyah) untuk belajar Islam supaya menjadi orang yang beriman sekaligus berilmu pengetahuan dan berkemajuan.

Agama Islam yang diharapkan dapat dipelajari tersebut, menurut Muhammadiyah yaitu ajaran Islam yang membuat umat manusia berkemajuan sepanjang zaman. Materinya seperti dirumuskan dalam Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCHM), yaitu ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang-bidang: (a) Aqidah, (b) Akhlak, (c) Ibadah, (d) Muhammadiyah duniawiyah.

Atau seperti yang tercantum dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) yaitu: Islam adalah Agama Allah yang diwahyukan kepada para Rasul, sebagai hidayah dan rahmat Allah bagi umat manusia sepanjang masa, yang menjamin kesejahteraan hidup materiil dan spirituil, duniawi dan ukhrawi.

Agama Islam, yakni Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad sebagai Nabi akhir zaman, ialah ajaran yang diturunkan Allah yang tercantum dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi yang shahih (maqbul) berupa perintah-perintah, larangan-larangan, dan petunjuk-petunjuk untuk kebaikan hidup manusia di dunia dan akhirat. Ajaran Islam bersifat menyeluruh yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisah-pisahkan meliputi bidang-bidang aqidah, akhlaq, ibadah, dan mu’amalah duniawiyah.

Empat Pilar yang Saling Berkelindan

Empat bidang (saya biasa menyebutnya empat pilar – ngikuti bahasa Senayan) materi kajian al-Islam gaya Muhammadiyah itu tadi, tidak mungkin dapat diraih oleh seorang diri.

Ya, tidak mungkin, sebab, masing-masing materi tadi (akidah, akhlak, ibadah, dan muamalah duniawiyah) di dalamnya terdapat sub kajian yang lebih banyak lagi, atau banyak disiplin ilmu di dalamnya. Misalnya, materi (1) Akidah, di dalam kajiannya menyangkut semua aliran (mazhab) dalam ilmu kalam (teologi).

Materi (2) Akhlak juga begitu, di dalamnya terdapat banyak kajian seputar budaya, moral, dan tasawuf, termasuk filsafat (ada yang memasukkan ke dalam bagian akidah – filsafat ketuhanan). Materi (3) Ibadah, di dalamnya juga terdapat banyak disiplin ilmu, misalnya kajian terhadap sumber ajaran ibadah yaitu Al-Qur’an dan sunah. Termasuk juga kajian berbagai aliran atau fikih mazhab. Pun pula dengan materi (4) Muamalah Duniawiyah, yang di dalamnya banyak sekali disiplin ilmu yang berkaitan dengan persoalan dunia.

Ulama Menurut Muhammadiyah

Dari gambaran singkat di atas, yang disebut ulama dalam Muhammadiyah, yaitu para ahli dan pakar keempat materi tadi, yakni: (1) para ahli dan pakar akidah, (2) para ahli dan pakar akhlak, (3) para ahli dan pakar ibadah, dan (4) pada ahli dan pakar muamalah duniawiyah. Jadi, yang disebut ulama, itu bukan ahli fikih saja (hanya materi ke-3/ibadah).

Bukan ahli akhlak saja. Bukan ahli akidah saja. Dan, bukan ahli muamalah duniawiyah saja. Melainkan semuanya; kumpulan para ahli dan pakar berbagai disiplin ilmu dari empat materi tadi.

Ulama, dari segi bahasa yaitu merupakan jamak taksir, bukan jamak mudzakkar salim, bukan pula jamak mu’annats salim. Jamak tasir yaitu jamak yang tidak beraturan, jamak atau kumpulan dari berbagai disiplin ilmu.

Noor Chozin Agham, Dosen UHAMKA dan UMT Indonesia, Penulis Buku : ISLAM BERKEMAJUAN gaya MUHAMMADIYAH – Telaah terhadap Akidah, Akhlak, Ibadah, dan Mu’amalah Duniawiyah – UHAMKA Press, 2015.

Redaksi Khilafah.ID

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Membersihkan Narasi Radikalisme di Tengah Kasus Polri

Jum Agu 26 , 2022
Khilafah.id – Sejak kasus pembunuhan oleh salah satu oknum polisi terhadap polisi lainnya mendapat reaksi keras dari masyarakat. Mereka bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Banyak masyarakat menuntut bahwa kasus ini harus dibuka dan tidak boleh disembunyikan atas nama kejujuran, keadilan dan martabat sebuah bangsa. Pelaku pembunuhan harus dihukum seadil-adilnya. Dan […]
kasus polri