Wajah Post-Islamisme dalam Sosial Politik Indonesia

post-islamisme

Khilafah.id – Seperti yang kita ketahui bahwasannya Islamisme merupakan paham yang bertujuan ingin mendirikan negara Islam dan menerapkan hukum Islam. Sedangkan Post-Islamisme berusaha memadukan antara agama dan sistem politik modern. Agenda utama Islamisme ialah mendirikan tatanan negara Islam dan memobilisasi umat Islam dalam rangka membangun tatanan yang totaliter yang disebut sebagai nizam Islami. Islamisme ingin mengembalikan Islam seperti yang telah dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Islam Politik (Islam siyasi) atau Islamisme juga muncul sebagai respons terhadap ekses-ekses modernitas yang dipahami sebagai Barat dan asing, yang dianggap gagal memenuhi kepentingan-kepentingan Islam seperti yang mereka pahami. Salah satu slogan kaum Islamis adalah “Islam adalah Jawaban (al-Islam huwa al-hal)”. Mereka menganggap ideologi-ideologi selain Islam seperti demokrasi, sosialisme, komunisme, dan sekularisme telah gagal. Namun, meskipun berusaha merujuk tradisi dan masa lalu, Islamisme di zaman modern adalah produk modernitas dan modernisasi.

Islamisme mengklasifikasikan seluruh kalangan non-Muslim sebagai kuffar (orang-orang kafir) dan dengan demikian berarti merupakan “musuh Islam.” Kalangan Muslim liberal pun tidak luput dari sasaran. Selain berkontribusi terhadap polarisasi antara Muslim dan non-Muslim lainnya, Islamisme juga memunculkan perseteruan internal yang kejam.

Asal usul Islamisme yang muncul sebagai akibat krisis di dunia Islam dapat ditelusuri sejak lahirnya al Ikhwanul Muslimin di Mesir sebagai pangkalan awal gerakan Islamisme pada tahun 1928 M. Gerakan ini menyebar ke seluruh dunia Muslim, termasuk Indonesia.

Dalam konteks ke-Indonesiaan, dapat dibilang bahwa kelompok Islamisme merupakan kelompok Muslim yang pertama ada di Indonesia, jauh sebelum Post-Islamisme muncul.  Wujud yang jelas dari hal tersebut ialah terbentuknya Partai Masyumi pada masa itu yang menginginkan Indonesia merdeka berdasarkan syariat Islam yang dituangkan dalam sila pertama Pancasila yang berbunyi Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”  yang kemudian disempurnakan menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Salah satu indikator berhasilnya Islamisme adalah menjamurnya lembaga pendidikan berbasis Islam non Pesantren. Berdirinya TK IT, SD-IT, SMP-IT, SMA-IT dan organisasi pendidikan Islam seperti Rohis yang tersebar hampir di setiap sekolah-sekolah SMA. Berdasarkan indikator tersebut, dapat terlihat bahwa Islamisme di Indonesia merupakan suatu gerakan massa berbasis agama yang menuntut perubahan sosial akibat ketidakpuasan dan kecewa terhadap rezim yang dianggapnya otoriter dan tidak peduli dengan penderitaan rakyatnya.

Gerakan Islam mulai terlihat pasca lengsernya rezim Orde Baru. Hal yang paling menonjol adalah berdirinya partai-partai Islam dan Ormas Islam. Partai Islam yang berdiri seperti PKS, PBB, dan PKU yang lahir sebagai tandingan dari partai Islam lain, yaitu PKB dan PPP. Ormas-ormas Islam pun didirikan sebagai penampung aspirasi umat Islam yang mungkin tidak terkoordinir oleh partai politik, di antaranya yaitu FPI, MMI, HTI dan ormas-ormas lainnya.

Maraknya pendirian sebuah parpol Islam dan Ormas Islam, akan berhubungan pula dengan munculnya kelompok-kelompok Islam jihadis (kelompok Islam garis keras) di Indonesia sebagai bentuk kekecewaan dan mereka mempunyai pemahaman politik Islam sebagaimana yang digunakan oleh Ikhwanul Muslimin di Timur Tengah atau Masyumi di Indonesia.

Contoh nyata di Indonesia, yaitu gerakan 212 yang dilatarbelakangi oleh penistaan agama oleh Basuki Tjahja Purnama (Ahok) yang saat itu mencalonkan diri menjadi Gubernur DKI Jakarta dan gerakan tersebut dimaksudkan untuk menyatakan penolakan terhadap pasangan Ahok-Djarot yang saat itu bersaing dengan pasangan Anies-Sandi yang didukung oleh salah satu partai Islam yaitu PKS, sehingga hal ini membulatkan suara mayoritas kelompok Islamisme di wilayah Jakarta untuk mendukungnya. Alhasil, tujuan pun tercapai, Ahok-Djarot kalah dalam pemilihan, bahkan Ahok mendapat 2 tahun kurungan penjara akibat perbuatannya tersebut.

Contoh nyata berikutnya adalah peristiwa yang saat ini sedang santer terdengar dan diberitakan. Semenjak kepulangan tokoh besar FPI yaitu Habib Rizieq ke Indonesia beberapa waktu lalu, berbagai peristiwa terjadi. Sebut saja, penjemputannya di Bandara yang dihadiri banyak sekali massa pengikutnya. Lalu kejadian pernikahan anaknya sekaligus peringatan maulid Nabi Muhammad SAW yang juga dihadiri oleh ribuan massanya. Juga peristiwa meninggalnya 6 anggota laskar FPI yang diduga ditembak mati oleh aparat kepolisian karena menyerang anggota kepolisian. Dan hari ini polisi menetapkan 6 orang tersangka atas kasus kerumunan di Petamburan, Jakarta.

Dari dua contoh nyata tadi saja, kita sudah dapat melihat bahwa Islamisme di Indonesia masih sangat menjual untuk selalu diungkit dan dikaitkan dengan politik. Eksistensi kelompok Islamisme juga diprediksi masih akan terus bertahan, karena kelompok-kelompok tersebut sudah memiliki struktur organisasi dan tersebar di beberapa wilayah di Indonesia. Sebut saja FPI, yang sampai dengan tahun 2004 saja telah mendirikan 18 cabang di tingkat provinsi dan sebanyak 50 perwakilan cabang di tingkat kabupaten dengan puluhan ribu simpatisan di seluruh Indonesia. Ikatan dan keterikatan antar anggotanya juga sangat terlihat akrab, selayaknya sebuah keluarga, jika ada satu anggota yang diganggu, maka yang lain akan melakukan aksi.

Namun, di tengah eksistensi tersebut, upaya pemerintah dalam menanggulangi kelompok-kelompok Islam jihadis ini juga terus dilakukan. Dengan didukung Polri dan TNI, pemerintah berupaya melakukan penertiban-penertiban kelompok yang melakukan tindak kekerasan. Seperti kelompok HTI yang resmi dibubarkan pada tahun 2013 lalu, dengan dalih bahwa HTI menolak Pancasila sebagai dasar negara.

Sementara itu, Post-Islamisme hadir sebagai gaya baru dari Islamisme di zaman modern ini. Post-Islamisme senantiasa mengaitkan kemunduran dunia Islam saat ini dengan kurangnya komitmen menjalankan ajaran Islam secara ketat, dalam hal ini kalangan Islamis melihat Islam sebagai ideologi dan basis gerakan untuk melakukan reformasi masyarakat secara menyeluruh dengan nilai-nilai dunia Barat serta memperjuangkan reformasi syariat Islam dalam kehidupan bernegara.

Gagasan Post-Islamisme berguna untuk menganalisis gerakan Islam kontemporer di Indonesia. Di Indonesia, Post-Islamisme berawal dari runtuhnya rezim Orde Baru yang menandakan adanya perubahan dalam perpolitikan. Salah satu partai Islam yang mewakili gerakan Post-Islamisme di Indonesia yaitu PKS. PKS dianggap sebagai partai Islamis yang berdiri secara resmi dan berpartisipasi penuh dalam sistem politik nasional.

Reformasi seakan menjadi awal perbaikan dan kebangkitan bagi perkembangan sosial, hukum, kebebasan pers dan politik di Indonesia. Begitu juga dengan kelahiran partai-partai Islam, seperti PPP, PSII, PUI, Partai Masyumi Baru, PBB, Partai Keadilan (PK), Partai Nahdhatul Ummat (PNU), PAN, PKB, dan yang lainnya.

Namun, dengan banyaknya partai Islam yang berdiri, dirasa belum dapat mengakomodasi semua kepentingan umat Islam di Indonesia. Hal itu mungkin karena partai-partai yang berdiri mempunyai afiliasi nya tersendiri. Seperti PAN yang kental nuansa Muhammadiyah, PKB sebagai satu-satunya partai yang direstui PBNU, kemudian partai-partai Islam lain seakan “hilang dari bumi” karena kekurangan dukungan dari masyarakat.

Raihan Abed Wahyudi, Milenial pengkaji keislaman dan kebangsaan. Tulisannya tersebar di berbagai media.

Redaksi Khilafah.ID

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

2022 Tahun Toleransi, Menag Yaqut Jangan Bercanda!

Sel Jan 11 , 2022
Khilafah.id – Pernyataan Menteri Agama Yaqut C. Qoumas bahwa pemerintah mencanangkan tahun 2022 ini sebagai Tahun Toleransi, patut ditanggapi serius. Pasalnya, pernyataan Yaqut tersebut bisa dipandang multitafsir. Respons terhadapnya pun beragam, antara yang pro dan kontra. Karena itu Editorial Harakatuna kali ini akan mengulas sebagai apresiasi dan evaluasi terhadap gagasan […]
Tahun Toleransi